Pengertian
Beriman dan Berilmu dalam Islam
Iman
secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i,
iman adalah "Keyakinan dalam hati, Perkataan di lisan, amalan dengan
anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan
maksiat". Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh
sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah
dan berkurang". Ini adalah definisi menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, madzhab Zhahiriyah dan segenap ulama
selainnya. Dengan demikian definisi iman
memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa
bertambah dan bisa berkurang.
Imam
Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah
dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia
bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan
amal.” Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu
orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka
berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan
berkurang.” Murid Al Imam Syafi’i yang bernama Ar-Rabi’ berkata: “Aku mendengar
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan
berkurang.”
Ilmu merupakan kata yang berasal
dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau
mengetahui. Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science,
sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science
umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan,
meskipun secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk lebih memahami
pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian :
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa
Indonesia)
Jaminan
Allah Kepada Orang-Orang yang Beriman dan Berilmu
Dari
Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman:
‘Aku menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih, apa yang tidak pernah
dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah pula
terbetik pada hati manusia.” Dan bacalah jika kalian kehendaki: Falaa ta’lamu
nafsum maa ukhfiya laHum ming qurrati a’yun (Seorang pun tidak mengetahui apa
yang disembunyikan untuk mereka, yaitu berbagai nikmat yang menyedapkan
pandangan mata).” (HR Bukhari dan Muslim).
Resume makalah kelompok 6 “ Hisab
Dan Rukyat Dalam Penetapan 1 Syawal ”
Historisitas Fiqih Hisab Rukyah
Dalam Lintasan Sejarah Dunia
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni
penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah
terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan
alat bantu optik seperti teleskop. Aktivitas rukyat dilakukan pada saat
menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini,
posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah
terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu
setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun, tidak
selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan
terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil
terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan
"cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan
bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of
light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Dalam
lintasan sejarah Indonesia
Dalam
lintasan sejarah Indonesia, selama pertengahan pertama abad ke-20, peringkat
kajian Islam yang paling tinggi hanya dapat dicapai di Mekah, yang kemudian
beralih ke Kairo. Kajian
Islam termasuk di dalamnya
kajian
tentang hisab
rukyah tidak lepas dari adanya jaringan Ulama. Ini membuktikan adanya jaringan
Ulama yang dilakukan oleh Ulama-Ulama hisab rukyah di Indonesia seperti
Muhammad Manshur al-Batawi, diketahui bahwa kitab monumentalnya, Sullam
al-Nayyirain, adalah hasil rihlah ‘ilmiyyah yang beliau lakukan
selama di Jazirah Arab. Berdasarkan atas itu, maka pemikiran hisab rukyah di Jazirah Arab seperti di Mesir, sangat
berpengaruh terhadap
pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Menurut Taufik, dari beberapa kitab hisab
rukyah yang berkembang di Indonesia, sebagian merupakan hasil cangkokan dari
kitab karya Ulama Mesir yakni al-Mathla’ al-Sa’id ‘ala Rashdi al-Jadid.
Sketsa Problem Hisab dan Rukyah
Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal
pertumbuhannya adalah sejarah aliran, mazhab, atau firqah. Sejarah fiqh
hisab rukyah (termasuk penetapan awal bulan Qamariyah) juga tidak bisa
dilepaskan dari persoalan aliran pemikiran tersebut. Penetapan bulan Qamariah
merupakan salah satu lahan ilmu hisab rukyah yang lebih kerap diperdebatkan
dibanding dengan lahan-lahan lain seperti penentuan arah kiblat dan penentuan
waktu shalat. Menurut Ibrahim Husein, persoalan ini dikatakan sebagai persoalan
“klasik” yang senantiasa “aktual”
karena
persoalan ini selalu mengundang polemik berkenaan dengan pengaplikasian
pendapat-pendapat tersebut sehingga nyaris mengancam persatuan dan kesatuan umat.
No comments:
Post a Comment