TUGAS
MANAJEMEN STRATEGIK
( Kasus Penting Manajemen Strategik Dalam Menangani Kasus Covid-19 )
Kasus Penting
Manajemen Strategik Dalam Menangani Kasus Covid-19
Tak Perlu Menunggu “Lockdown”. Di luar
karantina kawasan atau ”lockdown”, terdapat strategi lain yang dapat dilakukan
dengan terukur untuk mengurangi dan memperlambat penyebaran penyakit Covid-19. Karantina kawasan
atau lockdown merupakan salah satu bentuk strategi pembatasan sosial (social
distancing) secara ekstrem. Di luar strategi tersebut, terdapat strategi lain
untuk mengurangi dan memperlambat penyebaran penyakit Covid-19 yang dapat
dilakukan. Kebijakan Pemerintah Korea Selatan dan respons warganya dapat
menjadi salah satu inspirasi mengatasi penyebaran wabah Covid-19 di suatu
negara.
Menghadapi pandemi
Covid-19, berbagai negara menetapkan strategi pembatasan sosial (social
distancing) sebagai upaya mengurangi dan memperlambat penyebaran virus
tersebut. Istilah tersebut merujuk pada strategi kesehatan publik menghadapi
pandemi yang meliputi berbagai tindakan untuk menghentikan dan memperlambat
penyebaran wabah penyakit sekaligus membantu pemerintah melacak penyebarannya. Secara praktis, upaya mandiri
melakukan pembatasan sosial dapat dilakukan dengan menjaga jarak dari orang
lain, minimal 1 meter. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan mengisolasi diri,
bekerja dari rumah, membatasi kontak dengan rekan kerja, serta mengikuti etika
bersin atau batuk.
Sebagai sebuah
kebijakan terpusat, pembatasan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara,
mulai dari tingkat bawah, daerah, hingga pusat, serta mulai dari bentuk yang
lunak hingga keras. Bentuknya, bisa dengan membatasi pertemuan yang melibatkan
banyak orang, menutup tempat-tempat umum, dan menunda acara-acara. Dalam bentuk
yang ekstrem, tindakan pembatasan sosial ini sering disebut dengan lockdown. Lockdown merujuk pada situasi
darurat saat pergerakan orang dibatasi dan orang tidak diizinkan meninggalkan
rumah atau area mereka. Berada di rumah atau wilayah sendiri dianggap lebih
aman daripada bepergian ke luar rumah atau wilayah. Dalam kasus wabah Covid-19,
lockdown merupakan salah satu cara mengurangi pertemuan dengan orang lain untuk
mengurangi kemungkinan penyebaran virus Covid-19. Strategi lockdown diambil
demi alasan keamanan berdasarkan jumlah kasus, tingkat penyebaran, dan jumlah
kematian akibat virus Covid-19. Oleh karena itu, ”gaya” lockdown di tiap negara
berbeda-beda, bergantung pada situasinya. Apakah lockdown merupakan
satu-satunya strategi?
Gaya ”lockdown”
Italia
Di Eropa, Italia
menjadi negara yang mengawali penerapan strategi lockdown total sejak 10 Maret
2020 hingga 3 April 2020. Sebelumnya, Italia telah menerapkan lockdown di
beberapa wilayah di bagian utara. Hingga 17 Maret 2020, terdapat 28.293 kasus
dengan 2.003 orang meninggal karena Covid-19 di Italia. Italia menerapkan beberapa
tindakan, seperti menutup, melarang, membatasi, dan mengontrol ketat, setiap
aktivitas di seluruh negara. Di dalamnya termasuk larangan untuk berciuman dan
berpelukan, melakukan pertemuan publik, termasuk ibadah, acara olahraga, dan
masuk ke Italia. Italia juga menutup tempat-tempat yang berpotensi mengumpulkan orang
dalam satu waktu, seperti universitas, sekolah, kolam renang, teater, bioskop,
museum, monumen, situs sejarah, pusat budaya, resort ski, pub, klub malam, dan
diskotek.
Menghadapi pandemi
Covid-19, berbagai negara menetapkan strategi pembatasan sosial atau social
distancing. Batasan berkegiatan juga diterapkan untuk semua orang, kecuali dalam
situasi darurat. Masyarakat diminta tinggal di rumah. Tempat keagamaan boleh tetap
buka dengan syarat menjaga jarak 1 meter tiap orang. Selama lockdown, kegiatan
bisnis bisa tetap berjalan, tetapi tetap diberlakukan batasan pergerakan
manusia. Pusat perbelanjaan dan departement store pun boleh tetap buka, tetapi
harus tutup pada saat akhir pekan, hari libur, dan satu hari sebelum hari
libur. Bar dan restoran buka dari pukul 6 pagi hingga 6 petang. Mereka yang
harus melakukan perjalanan diwajibkan menunjukkan dokumen self-declaration. Italia juga menerapkan kontrol
yang ketat di seluruh stasiun dengan mengecek suhu tubuh. Selain itu, kontrol
di pelabuhan juga dilakukan dengan melarang kapal pesiar berlabuh.
Untuk menjamin
pasokan makanan, supermarket dan toko bahan makanan di Italia tetap buka.
Selain itu, transportasi publik tetap melayani orang yang harus bepergian. Langkah lockdown Pemerintah
Italia mulai membuahkan hasil. Wilayah Codogno yang telah mengalami lockdown
selama tiga minggu mengalami penurunan penyebaran pasien positif Covid-19, dari
rata-rata 100 pasien positif baru menjadi kurang dari 50 per hari. Menurut Wakil Menteri
Kesehatan Italia Pierpaolo Sileri, strategi itu diambil tidak untuk
menghentikan seluruh pergerakan, tetapi
juga untuk memastikan bahwa setiap orang melatih rasa tanggung jawab
yang tinggi terhadap wabah Covid-19. Alasan tersebut sejalan dengan kritik yang
disampaikan delegasi Palang Merah China saat berkunjung ke Italia. Mereka
menyatakan bahwa warga Italia gagal mengarantina diri dengan baik. Alasan kebijakan tersebut
dapat diperdebatkan, tetapi yang terpenting, strategi tersebut diambil dengan
alasan utama demi melawan persebaran virus Covid-19 di seluruh Italia. Bagaimana strategi di negara lain?
Situasi di Indonesia
Hingga 18 Maret
2020, terdapat 227 kasus positif Covid-19 di Indonesia sejak diumumkan pertama
kali adanya dua pasien positif Covid-19 pada 2 Maret 2020. Pemerintah Indonesia
telah mempraktikkan berbagai hal dalam menghadapi wabah virus Covid-19 di
wilayah Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari laman Kantor Staf Presiden dan Kementerian
Kesehatan secara kronologis, kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia dapat
dilihat jejaknya sejak 5 Januari 2020. Pada tanggal itu, pemerintah melalui Direktur
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan
mengeluarkan surat edaran Dirjen P2P Nomor PM.04.02/III/43/2020. Di dalamnya
berisi kesiapsediaan dan antisipasi terhadap penyebaran penyakit pneumonia
berat yang belum diketahui penyebabnya. Pada saat itu, istilah penyakit korona
belum diumumkan. Langkah awal tersebut kemudian dilanjutkan dengan berbagai kebijakan
pemerintah yang melibatkan beberapa kementerian, terutama Kementerian
Kesehatan. Berbagai langkah yang ditempuh Pemerintah Indonesia dapat
digolongkan menjadi sembilan bagian (lihat infografik di bawah).
Dimulai dengan
kebijakan terkait pintu masuk, evakuasi, aturan dan protokol, informasi,
kendali pusat dan daerah, layanan kesehatan, ekonomi, dukungan biaya dan
logistik, serta pembatasan sosial.
Melihat berbagai
langkah yang diambil Pemerintah Indonesia, tampak bahwa sejak awal Pemerintah
Indonesia menganggap bahwa wabah virus korona merupakan hal serius. Peningkatan
kesiapsediaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia ternyata sejalan dengan
peningkatan status wabah Covid-19 yang dilakukan WHO. Sebagai perbandingan, sejak 12
Februari 2020, WHO telah menyiapkan panduan bagi tiap negara dalam menyiapkan
Rencana Strategi Kesiapsediaan dan Respons (SPRP) terhadap wabah Covid-19. Dalam panduan tersebut,
terdapat tujuh hal (pilar) yang perlu diperhatikan setiap negara dalam
merancang rencana strategi masing-masing. Ketujuh pilar tersebut mulai dari
perencanaan dan pengawasan, komunikasi risiko, tim tanggap daruat dan
investigasi, pintu masuk, laboratorium nasional, pencegahan, manajemen kasus,
hingga dukungan operasional dan logistik.
Sebelum ”lockdown”
Belajar dari
strategi Italia dan Korea Selatan, yang menjadi fokus tindakan adalah
mengurangi penyebaran virus di negaranya. Keduanya sama-sama melakukan strategi
pembatasan sosial, tetapi Italia memilih strategi yang ekstrem dengan
memberlakukan lockdown. Pemerintah Italia berusaha melatih rasa tanggung jawab yang tinggi
terhadap wabah Covid-19 bagi warganya dengan lockdown. Artinya, Pemerintah
Italia terpaksa mengambil langkah serius agar warga Italia juga menganggap
serius wabah Covid-19. Situasi berbeda terjadi di Korea Selatan. Dengan kecepatan keterbukaan
dan informasi yang akurat dari pemerintah, kesadaran warga Korea Selatan dalam
menghadapi virus Covid-19 lebih mudah terbentuk. Pilihan gaya Italia (lockdown)
atau gaya Korea Selatan (tes massal) merupakan pilihan atas situasi yang
berbeda. Namun, keduanya berpijak pada tujuan yang sama, yakni mengurangi
penyebaran virus di negaranya.
Di Indonesia,
pemerintah menunjuk Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 pada 13
Maret 2020. Hingga 16 Maret 2020, Pemerintah Indonesia menegaskan belum
berpikir ke arah lockdown.
\
Tak Perlu Menunggu “Lockdown”
Di luar karantina
kawasan atau ”lockdown”, terdapat strategi lain yang dapat dilakukan dengan
terukur untuk mengurangi dan memperlambat penyebaran penyakit Covid-19. Karantina kawasan atau
lockdown merupakan salah satu bentuk strategi pembatasan sosial (social
distancing) secara ekstrem. Di luar strategi tersebut, terdapat strategi lain
untuk mengurangi dan memperlambat penyebaran penyakit Covid-19 yang dapat
dilakukan. Kebijakan Pemerintah Korea Selatan dan respons warganya dapat
menjadi salah satu inspirasi mengatasi penyebaran wabah Covid-19 di suatu
negara.
Menghadapi pandemi
Covid-19, berbagai negara menetapkan strategi pembatasan sosial (social
distancing) sebagai upaya mengurangi dan memperlambat penyebaran virus
tersebut. Istilah tersebut merujuk pada strategi kesehatan publik menghadapi
pandemi yang meliputi berbagai tindakan untuk menghentikan dan memperlambat
penyebaran wabah penyakit sekaligus membantu pemerintah melacak
penyebarannya.Secara praktis, upaya mandiri melakukan pembatasan sosial dapat
dilakukan dengan menjaga jarak dari orang lain, minimal 1 meter. Selain itu,
bisa juga dilakukan dengan mengisolasi diri, bekerja dari rumah, membatasi
kontak dengan rekan kerja, serta mengikuti etika bersin atau batuk. Sebagai sebuah kebijakan
terpusat, pembatasan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari tingkat
bawah, daerah, hingga pusat, serta mulai dari bentuk yang lunak hingga keras.
Bentuknya, bisa dengan membatasi pertemuan yang melibatkan banyak orang,
menutup tempat-tempat umum, dan menunda acara-acara.
Dalam bentuk yang
ekstrem, tindakan pembatasan sosial ini sering disebut dengan lockdown. Lockdown merujuk pada situasi
darurat saat pergerakan orang dibatasi dan orang tidak diizinkan meninggalkan
rumah atau area mereka. Berada di rumah atau wilayah sendiri dianggap lebih
aman daripada bepergian ke luar rumah atau wilayah. Dalam kasus wabah Covid-19,
lockdown merupakan salah satu cara mengurangi pertemuan dengan orang lain untuk
mengurangi kemungkinan penyebaran virus Covid-19. Strategi lockdown diambil
demi alasan keamanan berdasarkan jumlah kasus, tingkat penyebaran, dan jumlah
kematian akibat virus Covid-19. Oleh karena itu, ”gaya” lockdown di tiap negara
berbeda-beda, bergantung pada situasinya. Apakah lockdown merupakan
satu-satunya strategi?
Korea Selatan
Sejak 20 Januari
2020, Korea Selatan melaporkan adanya kasus infeksi virus korona di wilayahnya.
Hingga 17 Maret 2020, terdapat 8.320 kasus terkonfirmasi penyakit Covid-19
dengan 81 orang meninggal di Korea Selatan. Mengingat pertumbuhan kasus
yang sangat cepat, Pemerintah Korea Selatan semakin menganggap serius wabah
Covid-19 dengan meningkatkan status kewaspadaan menjadi level tertinggi, yakni
level merah, sejak 23 Februari 2020. Dengan situasi tersebut, Pemerintah Korea
Selatan mengubah kebijakannya. Awalnya, mereka fokus mencari jejak pasien yang
terkontaminasi virus dan menerapkan pelacakan terhadap mereka yang melakukan
kontak dengan pasien positif Covid-19. Selain itu, Pemerintah Korea Selatan
juga aktif melakukan sterilisasi lingkungan yang dikunjungi pasien positif
Covid-19. Mereka yang positif Covid-19 kemudian dikarantina.
Selain itu,
walaupun mendapatkan tentangan dari sisi privasi, langkah pelacakan itu
didukung dengan aturan pemerintah yang memungkinkan mengakses data individu,
termasuk data CCTV, GPS tracking dari gawai dan mobil, rekaman kartu kredit,
serta informasi dari imigrasi. Dengan minimnya investigator epidemi di Korea
Selatan yang tidak seimbang dengan kecepatan penyebaran virus, investigator
tidak mampu menyelidiki siapa menulari siapa. Tanpa mengurangi strategi
pelacakan (trace), Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (KCDC) Korea Selatan
lebih memfokuskan menerapkan kebijakan pengetesan cepat (rapid test) dalam
menghadapi wabah di negaranya. Hal itu dilakukan untuk memberikan waktu lebih
bagi pemerintah menyiapkan sumber daya dan mengerahkan petugas kesehatan. Dalam arsip foto ini terlihat
staf medis yang bertugas memeriksa kondisi kesehatan warga di kios-kios yang
didirikan Pemerintah Korea Selatan di 50 titik. Warga bisa dengan cepat
mengecek hanya dengan sistem drive-through. Salah satu kios dibuka di Pusat
Medis Yeungnam University di Daegu, Korea Selatan. Kebijakan tes massal Covid-19
mulai disiapkan pada 24 Januari 2020 dengan menyediakan 17 institut riset. Akan
tetapi, langkah tersebut baru dimulai pada 7 Februari 2020.
Saat itu, sistem
diagnosis baru yang ada di 50 fasilitas kesehatan di Korea Selatan telah mampu
mendeteksi virus korona dalam diri seseorang dalam waktu kurang dari enam jam.
Dengan rujukan dokter, warga Korea Selatan dapat melakukan tes dengan gratis. Yang terbaru, dengan
melibatkan 117 institusi kesehatan untuk menjalankan tes dan 96 laboratorium
kesehatan, Korea Selatan mampu mengetes 20.000 orang dalam satu hari. Akan
tetapi, rata-rata mereka mengetes 12.000 orang per hari. Hingga 18 Maret 2020,
lebih dari 270.000 orang telah dites di seluruh Korea Selatan. Strategi tersebut didukung
dengan menerapkan pembatasan sosial, seperti larangan pertemuan yang melibatkan
banyak orang, menutup sekolah, ibadah di rumah, dan mengimbau warganya untuk bekerja
dari rumah. Tak semua wilayah di Korea ditutup, tetapi beberapa fasilitas dan gedung
ditutup. Secara khusus, penduduk di wilayah Daegu dan Gyeongbuk diminta menahan
diri menghadiri pertemuan-pertemuan publik serta diberlakukan pembatasan bagi
pergerakan di wilayah tersebut. Seruan pemerintah tersebut direspons secara
positif sehingga banyak warga Korea Selatan yang dengan sadar mengisolasi diri.
Terdapat sekitar 29.000 orang yang berada di karantina pribadi hingga 13 Maret
2020. Selain itu,
kebanyakan warga Korea Selatan juga disiplin mengenakan masker dalam interaksi
sehari-hari. Hasilnya, penyebaran Covid-19 di Korea semakin menurun. Seorang perempuan lanjut usia
memasuki tenda untuk pengujian virus korona tipe baru pemicu Covid-19 di luar
Rumah Sakit Yangji di Seoul, Korea Selatan, Selasa (17/3/2020). Rumah sakit di
Korsel memperkenalkan fasilitas pengujian virus korona baru, seperti bilik
telepon yang menghindarkan staf medis bersentuhan langsung dengan pasien dan
memangkas lama waktu disinfeksi.
Kesadaran bangsa
Walaupun belum 100
persen selesai, langkah yang ditempuh Pemerintah Korea dianggap berhasil
menekan penyebaran Covid-19. Menurut Wakil Menteri Kesehatan Korea Selatan Kim
Gang-lip, mendapatkan kepercayaan publik merupakan dukungan utama bagi strategi
yang ditempuh pemerintah. ”Semakin transparan dan cepat sebuah informasi yang
akurat disampaikan, semakin orang percaya kepada pemerintah.” Dalam hal ini, Pemerintah
Korea Selatan mengembangkan aplikasi dan situs web untuk menunjukkan wilayah yang
berisiko tertular virus. Orang dapat mengetahui lokasi pasien positif Covid-19
dalam radius 10 kilometer. Dengan keterbukaan tersebut, warga diajak berpikir
secara rasional dalam menghadapi virus.
Komitmen dan
keterbukaan Pemerintah Korea Selatan dalam mengatasi Covid-19 mendapatkan
dukungan dari masyarakat luas. Pemerintah Korea Selatan berhasil melakukan
pengawasan yang luas untuk mendeteksi kasus. Dari situ, mereka mampu
mengisolasi mereka yang terinfeksi dari sirkulasi umum. Dengan demikian, penyebaran
virus dapat ditekan. AFP/JUNG YEON-JE Tentara Korea Selatan mengenakan disinfektan semprotan pelindung di
jalan untuk membantu mencegah penyebaran virus korona Covid-19 di Seoul pada 6
Maret 2020. Kebijakan yang diambil Pemerintah Korea Selatan ini tampaknya sederhana
dan juga telah diambil negara-negara lain. Akan tetapi, keberhasilan utama dari
langkah Pemerintah Korea Selatan adalah membentuk kesadaran umum masyarakat
secara luas, terutama dari mereka yang terinfeksi, untuk mau mengisolasi diri
sehingga tidak menularkan virus kepada orang lain.
Kesadaran diri ini
terbentuk karena pemahaman dan pengetahuan tentang sifat dasar penularan virus
secara umum sehingga dapat menghentikan penyebarannya. Kelihatannya, kesadaran diri
adalah hal sepele. Namun, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kesadaran
bersama, bahkan yang paling sepele pun, tidak dapat disepelekan dan membutuhkan
usaha serta dukungan dana yang sangat besar. Inilah keberhasilan komunikasi
dari Pemerintah Korea Selatan untuk tidak menyepelekan virus, tetapi memberikan
pemahaman yang tepat kepada warganya. Sebaliknya, warga negara pun merespons
dengan positif imbauan dari pemerintahnya untuk melakukan antisipasi secara
pribadi.
No comments:
Post a Comment