Makalah
( Perubahan
Paradigma Pelayanan Publik )
DISUSUN :
KELOMPOK 3
1. NURMAYANTI
2. RAHMISA
3. IMAM MULYADIL
4. TRY ANUGRAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Perubahan Paradigma
Pelayanan Publik“. Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan
refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,
dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca..
Makassar, 5 April 2018
Penyusun,
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………................................................…………………………………........
i
DAFTAR ISI ……………………………………………………..................................................………….…………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang …………………………………………………..….........................................……………. 1
B.
Rumusan Masalah ……………………………………………...…………........................................……... 2
C.
Tujuan penulisan ……………………………………………….......………….......................................….. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pelayanan Publik
............................................................................................................. 3
B.
Paradigma Negara Kuat........................................................................................................................ 7
C.
Paradigma Deregulasi Setengah Hati.............................................................................................. 9
D. Paradigma Reformasi
Pelayanan Publik...................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan …………………………………………………….….……............................................……..… 15
B.
Saran ………………………………………………………………...…...…...…............................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….………….................................................…… 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan fokus suatu disiplin ilmu
menurut Thomas Kuhn sebenarnya hanyalah perubahan cara pandang sekelompok
ilmuan tersebut pada suatu periode tertentu. Terdapat sekelompok ilmuan yang
menekankan subject matter tertentu termasuk kerangka konseptual dan
metodologinya pada suatu periode, dan pada periode yang lain muncul sekelompok
ilmuwan yang memiliki pandangan berbeda. Pandangan yang mendasar sekelompok
ilmuwan mengenai apa yang menjadi objek kajian suatu ilmu termasuk
metodologinya dikenal sebagai paradigma. Ilmu Adminitrasi Publik ( nama ini
lebih tepat dibanding Adminitrasi Negara sebab mempelajari bukan hanya
persoalan negara tetapi juga masyarakat dan merupakan padanan yang tepat dari
public Adminitration) yang fokus kajiannya pada manajemen publik dan kebijakan
publik, juga mengenal paradigma. Meskipun tidak seketat yang dimaksudkan oleh
Kuhn, dalam kedua fokus kajian tersebut dituntut peran pemerintah dan
masyarakat untuk sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pelayanan publik
(public services).
Bab ini membahas perubahan pelayanan
publik di Indonesia dari perspektif paradigmatik. Argumen utamanya adalah dalam
pelayanan publik telah berlangsung berbagai perubahan , sebab pemerintah selaku
pelaku utama mengalami pendefinisian ulang sesuai dengan konteksnya. Untuk
ringkasnya, dikemukakan tiga paradigma sesuai dengan besar kecilnya peranan
pemerintah dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan publik. Pertama, paradigma
negara kuat atau negara otonom dimana kekuatan sosial politik termasuk kekuatan
pasar, kecil pengaruhnya dalam kebijakan publik, bahkan pelaksanaanya. Kedua,
paradigma deregulasi setengah hati, dimana pemerintah memilih sektor tertentu
untuk dideregulasi yang pertimbangan utamanya bukan pencapaian efisiensi
pelayanan publik, tetapi keamanan bisnis antara pejabat negara dengan pengusaha
besar. Ketiga, paradigma reformasi pelayanan publik. Paradigma ini mengkaji
ulang peran pemerintah dan mendefinisikan kembali sesuai dengan konteksnya,
yaitu perubahan ekonomi dan politik global, penguatan civil society, good
governance, peranan pasar dan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan
dan pelaksanaan kebijakan publik
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Pelayanan Publik?
2. Bagaimana
Gagasan Paradigma Negara Kuat?
3. Apakah
Maksud Paradigma Deregulasi
Setengah Hati?
4. Apakah
Yang Di Maksud Dengan Paradigma
Reformasi Pelayanan Publik?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui pengertian pelayanan publik
2. Dapat mengetahui paradigma negara kuat
3. Dapat mengetahui paradigma
deregulasi setengah hati
4. Dapat
mengetahui paradigma reformasi pelayanan publik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pelayanan publik
Pelayanan publik adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan
kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik diartikan, pemberian
layanan(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan
pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
ditetapkan. Dengan demikian pelayanan public adalah pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara.
Secara sederhana kebijakan publik
adalah segala sesuatu yang diputuskan oleh pemerintah untuk dikerjakan maupun
tidak dikerjakan. Pemerintah memutuskan untuk ikut mengelola sektor pertanian,
terutama menetapkan harga beras, minyak goreng, cengkeh dan tebu. Pada saat
yang sama memutuskan untuk tidak mengelola sayur mayur, buah-buahan, dan
kentang. Dalam perspektif kebijakan, hal-hal yang dipilih untuk dikerjakan oleh
pemerintah dinilai bersifat strategis, baik dari sudut politik maupun ekonomi.
Konsekuensi dari keputusan pemerintah adalah perubahan dalam permintaan dan
penawaran barang dan jasa publik. Berdasarkan pemikiran ini, pelayanan publik
adalah pengadaan barang dan jasa publik, baik yang dilakukan oleh pemerintah
maupun non pemerintah.
Secara ekstrem terdapat dua jenis
barang, yaitu barang publik (public good) dan barang swasta (private good).
Barang publik adalah barang yang penggunaannya memiliki ciri nonrivalry seperti
udara, jalan, jembatan, dan sebagainya. Adapun barang swasta dicirikan oleh
adanya rivalitas, seperti baju, sepatu dan lain-lain. Baik barang publik maupun
privat di sektor permintaan (demand) ditentukan oleh selera konsumen. Bedanya, apabila
barang swasta sektor persediaan (supply) ditentukan oleh produsen yang
bertujuan mencari untung (profit motive), persediaan barang publik ditetapkan
melalui proses politik. Di antara keduanya terdapat barang swasta yang memiliki
nilai strategis, sehingga mengundang campur tangan pemerintah untuk
mengelolanya. Misalnya, pangan, industri pupuk, industri kimia, industri
otomotif, dan sebagainya. Di sisi lain juga terdapat barang publik dimana
swasta tertarik untuk mengelolanya seperti jalan tol, sampah, air minum, dan
seterusnya. Apa yang dilakukan pemerintah, sangat tergantung pada arti barang
dan jasa tersebut bagi pemerintah. Semakin strategis arti barang dan jasa bagi
pemerintah, semakin besar intervensi pemerintah dalam produksi, distribusi, dan
alokasinya.
Menurut Adam Smith, untuk mewujudkan
keadilan peran pemerintah perlu dibatasi hanya mengelola pertahanan, keamanan,
hubungan luar negeri, pekerjaan umum dan peradilan. Pelaksanaan fungsi demikian
diyakini tidak akan menimbulkan konflik seperti dikemukakan oleh Marx dan
pengikutnya, karena adanya invisible hard. Kenyataannya, semua pemerintah di
dunia ini tidak satupun yang hanya fokus pada produksi, distribusi dan alokasi
barang publik. Pemerintah ikut memperoduksi barang swasta dan swasta ikut memproduksi
dan mengelola barang publik. Dalam pelayanan publik, efektivitas dan efisiensi
saja tidak dapat dijadikan patokan. Diperlukan ukuran lain yaitu keadilan,
sebab tanpa ukuran ini ketimpangan pelayanan tidak dapat dihindari. Pentingnya
ukuran ini juga memperhatikan bahwa birokrasi publik cenderung menetapkan
target dan dalam pencapaian target, mereka cenderung menghindari kelompok
miskin, rentan dan terpencil. Sementara itu telah umum diketahui bahwa antara
efisiensi dan efektifitas merupakan the big trade off. Ketika pemerintah memacu
efisiensi, pelayanan publik untuk lapisan bawah, miskin dan terpencil yang
biasanya diabaikan. Pelayanan untuk kelompok ini memerlukan biaya besar yang
biasanya berupa subsidi, pengobatan gratis atau murah. Pelayanan jenis ini
hanya mungkin diproduksi jika pemerintah memiliki sumber daya yang cukup besar.
Namun demikian, efektifitas pelayanan juga dapat dilakukan dengan memilah-milah
kelompok sasaran guna diberlakukan jenis kebijakan yang berbeda.
Perubahan
paradigma pelayanan publik di Indonesia dari perspektif paradigmatik. Argumen
utamanya adalah dalam pelayanan publik telah berlangsung berbagai perubahan ,
sebab pemerintah selaku pelaku utama mengalami pendefinisian ulang sesuai
dengan konteksnya. Untuk ringkasnya, dikemukakan tiga paradigma sesuai dengan besar kecilnya peranan
pemerintah dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan publik.
1.
Paradigmma
negara kuat atau negara otonom dimana kekuatan sosial politik termasuk kekuatan
pasar, kecil pengaruhnya dalam kebijakan publik, bahkan pelaksanaanya.
2.
Paradigma
deregulasi setengah hati, dimana pemerintah memilih sektor tertentu untuk
dideregulasi yang pertimbangan utamanya bukan pencapaian efisiensi pelayanan
publik, tetapi keamanan bisnis antara pejabat negara dengan pengusaha besar.
3.
Paradigma
reformasi pelayanan publik. Paradigma ini mengkaji ulang peran pemerintah dan
mendefinisikan kembali sesuai dengan konteksnya, yaitu perubahan ekonomi dan
politik global, penguatan civil society, good governance, peranan pasar dan masyarakat
yang semakin besar dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Secara
sederhana kebijakan publik adalah segala sesuatu yang diputuskan oleh
pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan. Pemerintah memutuskan
untuk ikut mengelola sektor pertanian, terutama menetapkan harga beras, minyak
goreng, cengkeh dan tebu. Pada saat yang sama memutuskan untuk tidak mengelola
sayur mayur, buah-buahan, dan kentang. Dalam perspektif kebijakan, hal-hal yang
dipilih untuk dikerjakan oleh pemerintah dinilai bersifat strategis, baik dari
sudut politik maupun ekonomi. Konsekuensi dari keputusan pemerintah adalah
perubahan dalam permintaan dan penawaran barang dan jasa publik. Berdasarkan
pemikiran ini, pelayanan publik adalah pengadaan barang dan jasa publik, baik
yang dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.
Paradigma pelayanan publik, sejalan dengan
perkembangan manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan dalam upaya mewujudkan
pelayanan prima dan berkualitas, paradigma pelayanan publik berkembang dengan
fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Dengan ciri-ciri :
1.
lebih menfokuskan diri kepada fungsi pengaturan,
melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi yang
kondusif bagi pelayanan oleh masyarakat
2.
lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan
masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap
fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama
3.
menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan
pelayanan publik tertentu, sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang
berkualitas
4.
terfokus pada pencapaian dengan visi, misi, tujuan,
dan sasaran berorientasi pada hasil (outcomes) yang sesuai dengan input yang
digunakan
5.
lebih menggutamakan apa yang diinginkan oleh
masyarakat
6.
pada hal tertentu, pemerintah juga berperan untuk
memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan
7.
lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan
pelayanan
8.
lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan
pelayanan
9.
menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan
Dalam konteks Indonesia, upaya menerapkan pelayanan
berkualitas dilakukan melalui konsep pelayanan prima. Konsep ini dijabarkan
dalam berbagai sistem seperti pelayanan satu atap dan pelayanan satu pintu.
Perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah juga tak lepas dari upaya untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan.
Perubahan tersebut juga didasari pergeseran
paradigma yang berisikan perubahan perilaku pelayanan dari yang sifatnya sentralistis
ke desentralistis dalam upaya meningkatkan efisiensi, mutu dan efektifitas
pelayanan. Selain itu adanya keharusan setiap unit kerja pemerintah untuk
menyusun rencana strategiknya masing-masing, juga merupakan salah satu upaya
untuk mendorong terwujudnya akuntabilitas pelayanan, dan terjadinya
revitalisasi fungsi pelayanan aparatur pemerintah.
Dihampir
semua negara di dunia. Ketika Ronald Reagan mengambil alih kepemimpinan dari
Jimmy Carter, ia mewarisi perekonomian yang buruk dan citra Amerika yang
terpuruk di mata internasional. Berbagai program pelayanan sosial yang memberi
peran negara besar, segera dipangkas. Birokrasi negara di rampingkan dan
disuntikan nilai-nilai kewirausahaan. Kebijakan publik dikaji ulang berdasarkan
asas efisiensi dan manfaat. Pemerintah tidak harus melakukan semua pelayanan,
tetapi memberikan peran kepada perusahaan swasta. Dilakukanlah reformasi
pelayanan publik dengan menggandeng swasta baik melalui asas kemitraan
(partnership) maupun swastanisasi.
B.
PARADIGMA NEGARA KUAT
Gagasan negara kuat muncul dari
filsuf terkemuka, tetapi yang paling jelas adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679)
dan F.W. Hegel (1770 – 1831). Menurut Hobbes, dalam masyarakat tanpa negara
yang berlaku adalah iusnaturalis atau hukum alam, dimana tiap orang
mempertahankan dirinya untuk hidup kalau perlu menyerang yang lain. Dalam
keadaan seperti ini, setiap individu selalu merasa tidak aman, ketakuan dan
mencurigai orang-orang disekitarnya karena pada dasarnya manusia adalah
serigala bagi orang lain. Untuk melindungi hak setiap orang, membangun
perdamaian dan membatasi kemerdekaan ilmiah setiap orang diperlukan lex
naturalis atau undang-undang. Selanjutnya Hobbes menyatakan, perlu diangkat
seorang raja dengan kekuasan mutlak. Raja dengan kekuasan mutklak adalah
negara, individu harus rela menyerahkan haknya supaya kepentingan, keamanan dan
perdamaian jangka panjang dapat tercapai. Negara dengan kekuasan besar seperti
ini disebut oleh Hobbes adalah Leviathan.
Sedangkan bagi Hegel, sejarah umat manusia merupakan proses dari
sebuah ide yang universal yang sedang mengaktualisasikan dirinya. Ide tersebut
terus berproses melalui apa yang dinamakan sejarah, sebab menurut Hegel,
sejarah manusia adalah sejarah perkembangan ide. Negara merupakan penjelmaan
dari ide yang universal, karena negara memperjuangkan kepentingan yang lebih
besar. Hegel berpendapat bahwa negara mempunyai hak untuk memaksa kehendaknya
kepada warganya karena negara mewakili kepentingan umum, negara merupakan
manifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Di sinilah negara berada
diatas masyarakat, negara perlu hadir dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat dan untuk melakukan hal tersebut diperlukan negara kuat. Teori
Hobbes dan Hegel ini jelas mengabaikan perbedaan antara negara, pemerintah,
aparat birokrasi dan kebijakan. Negara dipandang sebagai kekuatan sempurna yang
utuh dan mempunyai misi suci meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam
masyarakat modern, teori negara kuat diteruskan ke dalam teori negara organis.
Dalam negara organis, negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemauan
sendiri yang mandiri. Negara memiliki kepentingan sendiri, yaitu meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Karena misi negara adalah misi yang suci untuk kepentingan umum
dan kebaikan bersama, maka negara juga secara aktif menyingkirkan orang atau
kelompok yang dianggap menggangu rencana tersebut. Inilah yang dapat disimak
dari tindakan Negara Orde Baru. Orde Baru menggunakan birokrasi baik sipil
maupun militer untuk secara aktif melakukan perencanaan, pelaksanaan
pembangunan termasuk kontrol terhadap masyarakat sipil, maka format demikian
populer dikenal sebagai Negara Otoriter Birokratik. O’ Donnell salah satu
seorang penganut teori ini menyatakan bahwa negara tampil sebagai salah satu
kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi elite
pendukungnya, serta masyarakat sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan
yang mampu mengatasi keduanya. Ini disebabkan oleh negara otoriter birokratik
diciptakan untuk melakukan kontrol yang kuat terhadap masyarakat sipil terutama
dalam mencegah massa rakyat terlibat secara aktif dalam politik. Di Indonesia
implementasinya terbagi oleh militer menjalankan penciptaan stabilitas
keamanan, sedangkan teknokat melakukan perencanaan ekonomi dan birokrasi
menjalankan perencanaan tersebut.
C. PARADIGMA
DEREGULASI SETENGAH HATI
Deregulasi dimaksudkan untuk
mengurangi atau menghilangkan berbagai aturan yang menghambat peran serta
masyarakat dalam memproduksi barang atau jasa. Disini terjadi perubahan peranan
pemerintah dari intervensionistik ke mekanisme pasar. Pemerintah melepaskan
sepenuhnya bidang-bidang yang semula ditangani ke swasta baik dengan
pertimbangan skala usahanya terlalu kecil sehingga tidak efisien, jenis
pelayanan yang dilakukan terlalu sederhana dan dapat dengan mudah
dilakukan oleh swasta serta jenis barang atau jasa yang diproduksi kurang
memiliki nilai strategis dari sudut ekonomi dan politik. Melalui berbagai
kebijakan tersebut, proses perumusan kebijakan dan implementasinya bukan lagi
merupakan monopoli negara. Telah berlangsung perluasan pelaku kebijakan,
utamanya disektor ekonomi. Dalam bidang sosial, negara masih menuntut
menyelenggarakan pelayanan yang lebih optimal. Akan tetapi, kemampuan negara
untuk menerapkan pola lama, yaitu proteksi dan subsidi semakin menurun akibat
merosotnya pendapatan negara.
Konflik elite tidak dapat dihindarkan karena kebijakan
deregulasi tidak didasarkan pada pertimbangan rasional, efisiensi, dan
keadilan, melainkan hubungan bisnis atau kolusi antara pejabat dan pengusaha. Selain
itu, di sektor sosial dimana pemerintah dituntut optimalisasi pelayanan, justru
semakin berkurang kemampuannya akibat menurunnya pendapatan negara. Dampak
lebih lanjut adalah terjadinya krisis sosial di lapisan bawah. Kelompok bawah
yang sebelumnya mengandalkan proyek-proyek padat karya dari negara, seperti
pembangunan infrastruktur jalan, bangunan milik negara dan sarana irigasi,
banyak yang kehilangan pekerjaan. Deregulasi yang berlangsung setengah hati dan
tidak menyentuh sektor riil yang merupakan bidang kolusi antara penjabat dan
pengusaha, tidak mendorong kebijakan berjalan efektif dan efisien. Deregulasi
dan debirokratisasi yang dilakukan secara terarah dan bertahap, seperti di
Korea Selatan, dapat menjauhkan bisnis dari belenggu birokrasi, sehingga
pembangunan nasional dapat berlangsung secara cepat.
Kebijakan
deregulasi meskipun dilakukan setengah hati, telah memunculkan jenis kebijakan
baru yaitu competitive regulatory police. Perluasan radio swasta, berdirinya
beberapa stasiun TV swasta, pelayanan telekomunikasi oleh swasta, perubahan
status pendidikan tinggi dari terdaftar- diakui-disamakan ke terakdreditasi,
adalah beberapa contoh. Serentak dengan itu juga mulai muncul kebijakan
redistributive, seperti perpajakan. Pajak yang mulai serius diterapkan sejak Gagasan negara kuat muncul dari filsuf terkemuka,
tetapi yang paling jelas adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679) dan F.W. Hegel
(1770 – 1831). Menurut Hobbes, dalam masyarakat tanpa negara yang berlaku
adalah iusnaturalis atau hukum alam, dimana tiap orang mempertahankan dirinya
untuk hidup kalau perlu menyerang yang lain. Dalam keadaan seperti ini, setiap
individu selalu merasa tidak aman, ketakuan dan mencurigai orang-orang
disekitarnya karena pada dasarnya manusia adalah serigala bagi orang lain.
Untuk melindungi hak setiap orang, membangun perdamaian dan membatasi
kemerdekaan ilmiah setiap orang diperlukan lex naturalis atau undang-undang.
Selanjutnya Hobbes menyatakan, perlu diangkat seorang raja dengan kekuasan
mutlak. Raja dengan kekuasan mutklak adalah negara, individu harus rela
menyerahkan haknya supaya kepentingan, keamanan dan perdamaian jangka panjang
dapat tercapai. Negara dengan kekuasan besar seperti ini disebut oleh Hobbes
adalah Leviathan.
Sedangkan
bagi Hegel, sejarah umat manusia merupakn proses dari sebuah ide yang universal
yang sedang mengaktualisasikan dirinya. Ide tersebut terus berproses melalui
apa yang dinamakan sejarah, sebab menurut Hegel, sejarah manusia adalah sejarah
perkembangan ide. Negara merupakan penjelmaan dari ide yang universal, karena
negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar. Hegel berpendapat bahwa
negara mempunyai hak untuk memaksa kehendaknya kepada warganya karena negara
mewakili kepentingan umum, negara merupakan manifestasi dari sesuatu yang ideal
dan universal. Di sinilah negara berada diatas masyarakat, negara perlu hadir
dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan untuk melakukan hal tersebut
diperlukan negara kuat.
Teori
Hobbes dan Hegel ini jelas mengabaikan perbedaan antara negara, pemerintah,
aparat birokrasi dan kebijakan. Negara dipandang sebagai kekuatan sempurna yang
utuh dan mempunyai misi suci meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam
masyarakat modern, teori negara kuat diteruskan ke dalam teori negara organis.
Dalam negara organis, negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemauan
sendiri yang mandiri. Negara memiliki kepentingan sendiri, yaitu meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Karena
misi negara adalah misi yang suci untuk kepentingan umum dan kebaikan bersama,
maka negara juga secara aktif menyingkirkan orang atau kelompok yang dianggap
menggangu rencana tersebut. Inilah yang dapat disimak dari tindakan Negara Orde
Baru. Orde Baru menggunakan birokrasi baik sipil maupun militer untuk secara
aktif melakukan perencanaan, pelaksanaan pembangunan termasuk kontrol terhadap
masyarakat sipil, maka format demikian populer dikenal sebagai Negara Otoriter Birokratik. O’ Donnell salah
satu seorang penganut teori ini menyatakan bahwa negara tampil sebagai salah
satu kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi
elite pendukungnya, serta masyarakat sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan
dominan yang mampu mengatasi keduanya. Ini disebabkan oleh negara otoriter
birokratik diciptakan untuk melakukan kontrol yang kuat terhadap masyarakat
sipil terutama dalam mencegah massa rakyat terlibat secara aktif dalam politik.
Di Indonesia implementasinya terbagi oleh militer menjalankan penciptaan
stabilitas keamanan, sedangkan teknokat melakukan perencanaan ekonomi dan
birokrasi menjalankan perencanaan tersebut.
Bagaimana
pemerintah atau negara yang kuat melakukan pelayanan publik? Oleh karena itu
kekuatan pemerintah dan negara disusun bersamaan dengan kepasifan massa,
kemandulan partai dan kontrol ketat penguasa, maka pemerintah merupakan
kekuatan tunggal dalam negara. Pengusaha dan civil society masih sangat lemah,
sehingga tidak mampu mengibangi pemerintah. Dalam kondisi ini, pelayanan publik
merupakan monopoli pemerintah.
Selain
itu terdapat bidang-bidang yang terabaikan dan sebaliknya terlalu jauh diurus
oleh pemerintah. Bidang yang terabaikan oleh pemerintah adalah bidang yang
tidak memberikan keuntungan finisial dan politis, sebaliknya, bidang yang
terlalu jauh dicampuri oleh pemerintah adalah bidang yang memberikan manfaat
ekonomi maupun politik bagi aparatur negara, terutama para pejabat tinggi
negara. Menurut Rippley, kebijakan protektif hanya perlu diberikan kepada
kelompok minoritas dan kelompok rentan secara sosial, ekonomi dan budaya. Hal
demikian dimaksudkan untuk melindungi mereka dari persaingan pasar yang tidak
adil, akan tetapi, di era negara kuat kebijakan demikian justru diberikan
kepada pelaku ekonomi kuat, seperti pemberian proteksi bagi usaha kimia, pupuk,
terigu, farmasi, elektronika, informasi dan komunikasi, transportasi dan semen.
D.
PARADIGMA REFORMASI PELAYANAN PUBLIK
Deregulasi
dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai aturan yang menghambat
peran serta masyarakat dalam memproduksi barang atau jasa. Disini terjadi
perubahan peranan pemerintah dari intervensionistik ke mekanisme pasar.
Pemerintah melepaskan sepenuhnya bidang-bidang yang semula ditangani ke swasta
baik dengan pertimbangan skala usahanya terlalu kecil sehingga tidak efisien,
jenis pelayanan yang dilakukan terlalu sederhana
dan dapat dengan mudah dilakukan oleh swasta serta jenis barang atau jasa yang
diproduksi kurang memiliki nilai strategis dari sudut ekonomi dan politik.
Secara teoritis,
reformasi adalah perubahan dimana kedalamannya terbatas sedangkan keluasan perubahannya
melibatkan seluruh masyarakat. Konsep terakhir menunjukan kedalaman
perubahannya radikal sedangkan keluasan perubahannya melibatkan pula seluruh
masyarakat. Sebagai perubahan yang terbatas tetapi keseluruhan masyarakat
terlibat, reformasi juga mengandung pengertian penataan kembali bangunan
masyarakat, termasuk cita-cita. Kata orde jelas menunjukan pergantian rezime,
pandangan politik, dan kebijakannya .
Melalui
berbagai kebijakan tersebut, proses perumusan kebijakan dan implementasinya
bukan lagi merupakan monopoli negara. Telah berlangsung perluasan pelaku
kebijakan, utamanya disektor ekonomi. Dalam bidang sosial, negara masih
menuntut menyelenggarakan pelayanan yang lebih optimal, bukan hanya sebagai
akibat the rising expectation, tetapi juga ketentuan konstitusi. Akan tetapi,
kemampuan negara untuk menerapkan pola lama, yaitu proteksi dan subsidi Semakin
menurun akibat merosotnya pendapatan negara.
Konflik
elite tidak dapat dihindarkan karena kebijakan deregulasi tidak didasarkan pada
pertimbangan rasional, efisiensi, dan keadilan, melainkan hubungan bisnis atau
kolusi antara pejabat dan pengusaha. Para pejabat tidak menderegulasikan
sektor-sektor dimana mereka memiliki modal dan saham. Selain itu, di sektor
sosial dimana pemerintah dituntut optimalisasi pelayanan, justru semakin
berkurang kemampuannya akibat menurunnya pendapatan negara. Dampak lebih lanjut
adalah terjadinya krisis sosial di lapisan bawah. Kelompok bawah yang
sebelumnya mengandalkan proyek-proyek padat karya dari negara, seperti
pembangunan infrastruktur jalan, bangunan milik negara dan sarana irigasi,
banyak yang kehilangan pekerjaan. Akan tetapi sejarah tidak dapat diputar
balik, deregulasi yang berlangsung setengah hati dan tidak menyentuh sektor
riil yang merupakan bidang kolusi antara penjabat dan pengusaha, tidak
mendorong kebijkan berjalan efektif dan efisien.
Perubahan mendasar sejak tahun 1999 adalah
Amandemen UUD 1945, kekuasan legeslatif diselenggarakan oleh dua lembaga
perwakilan yaitu DPR dan DPD, kekuasaan yudikatif diselenggarakan oleh dua
mahkamah yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, daerah otonom diberikan
kewenangan yang sangat luas, pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung dan kebebasan mendirikan partai politik. Reformasi diatas merupakan
reformasi politik, terutama distribusi kekuasaan. Perubahan demikian merupakan
syarat mutlak perubahan pelayanan publik atau perubahan adminitratif, sebab
dalam ilmu adminitrasi dikenal dengan prinsip when politic end, administrative
began. Untuk melakukan pelayanan publik, diperlukan perubahan politik, baik
mekanisme pengambilan keputusan maupun kelembagaan. Secara gradual, perubahan
tersebut mengarah kepada keseimbangan keuatan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Keseimbangan demikian merupakan langkah demokratisasi.
Pemberian
otonom yang sangat luas pada dasarnya juga dimaksudkan untuk mendekatkan
pemerintah dengan rakyat. Melalui otonom yang luas, pemerintah daerah memiliki
wewenag yang luas dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik yang
sesuai dengan kebutuhan rakyat daerah.
Berbagai
perubahan dalam bidang pelayanan publik memang telah berlangsung di era
reformasi, meskipun tidak sebaik yang diharapkan. Dari jenis kebijakan, semakin
banyak kebijakan kompetitif dalam bidang ekonomi, industri, dan perdagangan.
Hal ini menunjukan bahwa pemerintah mengurangi peranannya di bidang ekonomi.
Demikian kebijakan distributif dan redistributif, seperti pemberian subsidi
untuk pendidikan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beras untuk
keluarga miskin (raskin) dan Program Kompesasi Subsidi BBM yang diberikan dalam
bentuk uang tunai. Dari prilaku birokrasi , meskipun korupsi dan kolusi belum
ada tanda-tanda merosot, tetapi arogansi birokrasi berkurang.
Efisiensi
dan efektifvitas pelayanan menunjukan peningkatan. Sistem dan prosedur
pelayanan telah diubah lebih sederhana, baik dalam bidang surat menyurat,
pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik maupun telepon. Namun masyarakat
masih belum terbebaskan dari biaya siluman, terutama untuk mendapatkan surat
izin usaha perdagangan, sertifikat tanah dan semua surat yang dikeluarkan oleh
kepolisian. Kepolisian merupakan institusi yang paling buruk dalam pelayanan
publik di banding institusi lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sampai
akhir tahun 2005, masyarakat masih belum bisa memiliki kepastian dalam hal
biaya dan waktu dalam memperoleh pelayanan publik, terutama yang diberikan oleh
birokrasi pemerintahan dan kepolisian. Kepastian informasi lebih disediakan
oleh swasta, bahkan dengan berbagai kemudahan. Gejala terakhir ini tidak
terlepas dari semakin meningkatnya kompetisi antar pelaku implementasi kebijakan. Mekanisme pasar yang didorong
melalui kebijakan kompetitif, lebih berhasil dalam menyediakan pelayanan yang
murah, responsif dan inovatif. Sebaliknya mekanisme adminitratif masih mengidap
penyakit birokrasi, seperti lambat, berbelit-belit dan kurang berkualitas.
Agar
terdapat kepastian pelayanan publik perlu segera disusun standar pelayanan yang
jelas. Standar demikian diperlukan bukan hanya untuk kepastian pelayanan,
tetapi juga dapat digunakan untuk menilai kompetensi aparatur dan usaha untuk
mewujudkan pertanggungjawaban publik. Hak-hak masyarakat dalam pelayanan publik
perlu di ekspose untuk diketahui oleh masyarakat, demikian juga kewajiban
aparatur dalam mkemberikan pelayanan. Mekanisme penyampaian komplain, keluhan
dan berbagai ketidakpuasan kepada lembaga terkait perlu dipermudah, untuk
meningkatkan kontrol masyarakat.
B. Saran
Menurut
kami masih banyak hal – hal di indonesia yang perlu di perbaiki demi menyambut
era globalisasi. Bidang – bidang dasar seperti politik ekonomi, sosial dan
budaya, serta hukum harus banyak mengalami perubahan mengarah kepada yang lebih
baik.
DaftarPustaka
http://adimangkusumo.blogspot.co.id/2016/09/paradigma-perubahan-pelayanan
publik.html?m=1
http://muslimpoliticians.blogspot.co.id/2013/04/hakekat-dan-paradigma-pelayanan
publik.html?m=1
http://sahabatnazar.blogspot.co.id/search?q=makalah+perubahan+paradigma+pelayanan+publik
No comments:
Post a Comment