Pages

Thursday, August 6, 2020

MAKALAH ( PERUBAHAN PARADIGMA PELAYANAN PUBLIK )


KATA PENGANTAR

 

                 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Perubahan Paradigma Pelayanan Publik“. Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca..             

 

Makassar, 5 April 2018

                                                                        Penyusun,

 

 

                     Kelompok 3

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………................................................…………………………………........ i

DAFTAR ISI ……………………………………………………..................................................………….…………….. ii

BAB I PENDAHULUAN

A.      Latar  Belakang …………………………………………………...........................................…………….

B.      Rumusan Masalah ……………………………………………...…………........................................……... 2

C.       Tujuan penulisan ……………………………………………….......………….......................................….. 2

BAB II PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pelayanan Publik ............................................................................................................. 3

B.      Paradigma Negara Kuat........................................................................................................................ 7

C.       Paradigma Deregulasi Setengah Hati.............................................................................................. 9

D.      Paradigma Reformasi Pelayanan Publik...................................................................................... 12

BAB III PENUTUP

A.      Kesimpulan ……………………………………………………..……............................................…….. 15

B.      Saran ………………………………………………………………...…...….................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….………….................................................…… 16

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

            Perubahan fokus suatu disiplin ilmu menurut Thomas Kuhn sebenarnya hanyalah perubahan cara pandang sekelompok ilmuan tersebut pada suatu periode tertentu. Terdapat sekelompok ilmuan yang menekankan subject matter tertentu termasuk kerangka konseptual dan metodologinya pada suatu periode, dan pada periode yang lain muncul sekelompok ilmuwan yang memiliki pandangan berbeda. Pandangan yang mendasar sekelompok ilmuwan mengenai apa yang menjadi objek kajian suatu ilmu termasuk metodologinya dikenal sebagai paradigma. Ilmu Adminitrasi Publik ( nama ini lebih tepat dibanding Adminitrasi Negara sebab mempelajari bukan hanya persoalan negara tetapi juga masyarakat dan merupakan padanan yang tepat dari public Adminitration) yang fokus kajiannya pada manajemen publik dan kebijakan publik, juga mengenal paradigma. Meskipun tidak seketat yang dimaksudkan oleh Kuhn, dalam kedua fokus kajian tersebut dituntut peran pemerintah dan masyarakat untuk sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pelayanan publik (public services).

Bab ini membahas perubahan pelayanan publik di Indonesia dari perspektif paradigmatik. Argumen utamanya adalah dalam pelayanan publik telah berlangsung berbagai perubahan , sebab pemerintah selaku pelaku utama mengalami pendefinisian ulang sesuai dengan konteksnya. Untuk ringkasnya, dikemukakan tiga paradigma  sesuai dengan besar kecilnya peranan pemerintah dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan publik. Pertama, paradigma negara kuat atau negara otonom dimana kekuatan sosial politik termasuk kekuatan pasar, kecil pengaruhnya dalam kebijakan publik, bahkan pelaksanaanya. Kedua, paradigma deregulasi setengah hati, dimana pemerintah memilih sektor tertentu untuk dideregulasi yang pertimbangan utamanya bukan pencapaian efisiensi pelayanan publik, tetapi keamanan bisnis antara pejabat negara dengan pengusaha besar. Ketiga, paradigma reformasi pelayanan publik. Paradigma ini mengkaji ulang peran pemerintah dan mendefinisikan kembali sesuai dengan konteksnya, yaitu perubahan ekonomi dan politik global, penguatan civil society, good governance, peranan pasar dan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Jelaskan Pengertian Pelayanan Publik?

2.      Bagaimana Gagasan Paradigma Negara Kuat?

3.      Apakah Maksud Paradigma Deregulasi Setengah Hati?

4.      Apakah Yang Di Maksud Dengan Paradigma Reformasi Pelayanan Publik?

C.      Tujuan Penulisan

1.      Dapat mengetahui pengertian pelayanan publik

2.      Dapat mengetahui paradigma negara kuat

3.      Dapat mengetahui paradigma deregulasi setengah hati

4.      Dapat mengetahui paradigma reformasi pelayanan publik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Pelayanan publik

                   Pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dengan demikian pelayanan public adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara.

                  Secara sederhana kebijakan publik adalah segala sesuatu yang diputuskan oleh pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan. Pemerintah memutuskan untuk ikut mengelola sektor pertanian, terutama menetapkan harga beras, minyak goreng, cengkeh dan tebu. Pada saat yang sama memutuskan untuk tidak mengelola sayur mayur, buah-buahan, dan kentang. Dalam perspektif kebijakan, hal-hal yang dipilih untuk dikerjakan oleh pemerintah dinilai bersifat strategis, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Konsekuensi dari keputusan pemerintah adalah perubahan dalam permintaan dan penawaran barang dan jasa publik. Berdasarkan pemikiran ini, pelayanan publik adalah pengadaan barang dan jasa publik, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.

                  Secara ekstrem terdapat dua jenis barang, yaitu barang publik (public good) dan barang swasta (private good). Barang publik adalah barang yang penggunaannya memiliki ciri nonrivalry seperti udara, jalan, jembatan, dan sebagainya. Adapun barang swasta dicirikan oleh adanya rivalitas, seperti baju, sepatu dan lain-lain. Baik barang publik maupun privat di sektor permintaan (demand) ditentukan oleh selera konsumen. Bedanya, apabila barang swasta sektor persediaan (supply) ditentukan oleh produsen yang bertujuan mencari untung (profit motive), persediaan barang publik ditetapkan melalui proses politik. Di antara keduanya terdapat barang swasta yang memiliki nilai strategis, sehingga mengundang campur tangan pemerintah untuk mengelolanya. Misalnya, pangan, industri pupuk, industri kimia, industri otomotif, dan sebagainya. Di sisi lain juga terdapat barang publik dimana swasta tertarik untuk mengelolanya seperti jalan tol, sampah, air minum, dan seterusnya. Apa yang dilakukan pemerintah, sangat tergantung pada arti barang dan jasa tersebut bagi pemerintah. Semakin strategis arti barang dan jasa bagi pemerintah, semakin besar intervensi pemerintah dalam produksi, distribusi, dan alokasinya.

                  Menurut Adam Smith, untuk mewujudkan keadilan peran pemerintah perlu dibatasi hanya mengelola pertahanan, keamanan, hubungan luar negeri, pekerjaan umum dan peradilan. Pelaksanaan fungsi demikian diyakini tidak akan menimbulkan konflik seperti dikemukakan oleh Marx dan pengikutnya, karena adanya invisible hard. Kenyataannya, semua pemerintah di dunia ini tidak satupun yang hanya fokus pada produksi, distribusi dan alokasi barang publik. Pemerintah ikut memperoduksi barang swasta dan swasta ikut memproduksi dan mengelola barang publik. Dalam pelayanan publik, efektivitas dan efisiensi saja tidak dapat dijadikan patokan. Diperlukan ukuran lain yaitu keadilan, sebab tanpa ukuran ini ketimpangan pelayanan tidak dapat dihindari. Pentingnya ukuran ini juga memperhatikan bahwa birokrasi publik cenderung menetapkan target dan dalam pencapaian target, mereka cenderung menghindari kelompok miskin, rentan dan terpencil. Sementara itu telah umum diketahui bahwa antara efisiensi dan efektifitas merupakan the big trade off. Ketika pemerintah memacu efisiensi, pelayanan publik untuk lapisan bawah, miskin dan terpencil yang biasanya diabaikan. Pelayanan untuk kelompok ini memerlukan biaya besar yang biasanya berupa subsidi, pengobatan gratis atau murah. Pelayanan jenis ini hanya mungkin diproduksi jika pemerintah memiliki sumber daya yang cukup besar. Namun demikian, efektifitas pelayanan juga dapat dilakukan dengan memilah-milah kelompok sasaran guna diberlakukan jenis kebijakan yang berbeda.

                  Perubahan paradigma pelayanan publik di Indonesia dari perspektif paradigmatik. Argumen utamanya adalah dalam pelayanan publik telah berlangsung berbagai perubahan , sebab pemerintah selaku pelaku utama mengalami pendefinisian ulang sesuai dengan konteksnya. Untuk ringkasnya, dikemukakan tiga paradigma  sesuai dengan besar kecilnya peranan pemerintah dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan publik.

1.       Paradigmma negara kuat atau negara otonom dimana kekuatan sosial politik termasuk kekuatan pasar, kecil pengaruhnya dalam kebijakan publik, bahkan pelaksanaanya.

2.       Paradigma deregulasi setengah hati, dimana pemerintah memilih sektor tertentu untuk dideregulasi yang pertimbangan utamanya bukan pencapaian efisiensi pelayanan publik, tetapi keamanan bisnis antara pejabat negara dengan pengusaha besar.

3.       Paradigma reformasi pelayanan publik. Paradigma ini mengkaji ulang peran pemerintah dan mendefinisikan kembali sesuai dengan konteksnya, yaitu perubahan ekonomi dan politik global, penguatan civil society, good governance, peranan pasar dan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Secara sederhana kebijakan publik adalah segala sesuatu yang diputuskan oleh pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan. Pemerintah memutuskan untuk ikut mengelola sektor pertanian, terutama menetapkan harga beras, minyak goreng, cengkeh dan tebu. Pada saat yang sama memutuskan untuk tidak mengelola sayur mayur, buah-buahan, dan kentang. Dalam perspektif kebijakan, hal-hal yang dipilih untuk dikerjakan oleh pemerintah dinilai bersifat strategis, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Konsekuensi dari keputusan pemerintah adalah perubahan dalam permintaan dan penawaran barang dan jasa publik. Berdasarkan pemikiran ini, pelayanan publik adalah pengadaan barang dan jasa publik, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.

Paradigma pelayanan publik, sejalan dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas, paradigma pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Dengan ciri-ciri :

1.       lebih menfokuskan diri kepada fungsi pengaturan, melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi yang kondusif bagi pelayanan oleh masyarakat

2.       lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama

3.       menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu, sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas

4.       terfokus pada pencapaian dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran berorientasi pada hasil (outcomes) yang sesuai dengan input yang digunakan

5.       lebih menggutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat

6.       pada hal tertentu, pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan

7.       lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan

8.       lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan

9.       menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan

Dalam konteks Indonesia, upaya menerapkan pelayanan berkualitas dilakukan melalui konsep pelayanan prima. Konsep ini dijabarkan dalam berbagai sistem seperti pelayanan satu atap dan pelayanan satu pintu. Perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah juga tak lepas dari upaya untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan.

Perubahan tersebut juga didasari pergeseran paradigma yang berisikan perubahan perilaku pelayanan dari yang sifatnya sentralistis ke desentralistis dalam upaya meningkatkan efisiensi, mutu dan efektifitas pelayanan. Selain itu adanya keharusan setiap unit kerja pemerintah untuk menyusun rencana strategiknya masing-masing, juga merupakan salah satu upaya untuk mendorong terwujudnya akuntabilitas pelayanan, dan terjadinya revitalisasi fungsi pelayanan aparatur pemerintah.

Dihampir semua negara di dunia. Ketika Ronald Reagan mengambil alih kepemimpinan dari Jimmy Carter, ia mewarisi perekonomian yang buruk dan citra Amerika yang terpuruk di mata internasional. Berbagai program pelayanan sosial yang memberi peran negara besar, segera dipangkas. Birokrasi negara di rampingkan dan disuntikan nilai-nilai kewirausahaan. Kebijakan publik dikaji ulang berdasarkan asas efisiensi dan manfaat. Pemerintah tidak harus melakukan semua pelayanan, tetapi memberikan peran kepada perusahaan swasta. Dilakukanlah reformasi pelayanan publik dengan menggandeng swasta baik melalui asas kemitraan (partnership) maupun swastanisasi.

 

B.     PARADIGMA NEGARA KUAT

               Gagasan  negara kuat muncul dari filsuf terkemuka, tetapi yang paling jelas adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679) dan F.W. Hegel (1770 – 1831). Menurut Hobbes, dalam masyarakat tanpa negara yang berlaku adalah iusnaturalis atau hukum alam, dimana tiap orang mempertahankan dirinya untuk hidup kalau perlu menyerang yang lain. Dalam keadaan seperti ini, setiap individu selalu merasa tidak aman, ketakuan dan mencurigai orang-orang disekitarnya karena pada dasarnya manusia adalah serigala bagi orang lain. Untuk melindungi hak setiap orang, membangun perdamaian dan membatasi kemerdekaan ilmiah setiap orang diperlukan lex naturalis atau undang-undang. Selanjutnya Hobbes menyatakan, perlu diangkat seorang raja dengan kekuasan mutlak. Raja dengan kekuasan mutklak adalah negara, individu harus rela menyerahkan haknya supaya kepentingan, keamanan dan perdamaian jangka panjang dapat tercapai. Negara dengan kekuasan besar seperti ini disebut oleh Hobbes adalah Leviathan.

               Sedangkan bagi Hegel, sejarah umat manusia merupakan proses dari sebuah ide yang universal yang sedang mengaktualisasikan dirinya. Ide tersebut terus berproses melalui apa yang dinamakan sejarah, sebab menurut Hegel, sejarah manusia adalah sejarah perkembangan ide. Negara merupakan penjelmaan dari ide yang universal, karena negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar. Hegel berpendapat bahwa negara mempunyai hak untuk memaksa kehendaknya kepada warganya karena negara mewakili kepentingan umum, negara merupakan manifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Di sinilah negara berada diatas masyarakat, negara perlu hadir dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan untuk melakukan hal tersebut diperlukan negara kuat. Teori Hobbes dan Hegel ini jelas mengabaikan perbedaan antara negara, pemerintah, aparat birokrasi dan kebijakan. Negara dipandang sebagai kekuatan sempurna yang utuh dan mempunyai misi suci meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam masyarakat modern, teori negara kuat diteruskan ke dalam teori negara organis. Dalam negara organis, negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemauan sendiri yang mandiri. Negara memiliki kepentingan sendiri, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

               Karena misi negara adalah misi yang suci untuk kepentingan umum dan kebaikan bersama, maka negara juga secara aktif menyingkirkan orang atau kelompok yang dianggap menggangu rencana tersebut. Inilah yang dapat disimak dari tindakan Negara Orde Baru. Orde Baru menggunakan birokrasi baik sipil maupun militer untuk secara aktif melakukan perencanaan, pelaksanaan pembangunan termasuk kontrol terhadap masyarakat sipil, maka format demikian populer dikenal sebagai  Negara Otoriter Birokratik. O’ Donnell salah satu seorang penganut teori ini menyatakan bahwa negara tampil sebagai salah satu kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi elite pendukungnya, serta masyarakat sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang mampu mengatasi keduanya. Ini disebabkan oleh negara otoriter birokratik diciptakan untuk melakukan kontrol yang kuat terhadap masyarakat sipil terutama dalam mencegah massa rakyat terlibat secara aktif dalam politik. Di Indonesia implementasinya terbagi oleh militer menjalankan penciptaan stabilitas keamanan, sedangkan teknokat melakukan perencanaan ekonomi dan birokrasi menjalankan perencanaan tersebut.

 

C.      PARADIGMA DEREGULASI SETENGAH HATI

               Deregulasi dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai aturan yang menghambat peran serta masyarakat dalam memproduksi barang atau jasa. Disini terjadi perubahan peranan pemerintah dari intervensionistik ke mekanisme pasar. Pemerintah melepaskan sepenuhnya bidang-bidang yang semula ditangani ke swasta baik dengan pertimbangan skala usahanya terlalu kecil sehingga tidak efisien, jenis pelayanan yang dilakukan  terlalu sederhana dan dapat dengan mudah dilakukan oleh swasta serta jenis barang atau jasa yang diproduksi kurang memiliki nilai strategis dari sudut ekonomi dan politik. Melalui berbagai kebijakan tersebut, proses perumusan kebijakan dan implementasinya bukan lagi merupakan monopoli negara. Telah berlangsung perluasan pelaku kebijakan, utamanya disektor ekonomi. Dalam bidang sosial, negara masih menuntut menyelenggarakan pelayanan yang lebih optimal. Akan tetapi, kemampuan negara untuk menerapkan pola lama, yaitu proteksi dan subsidi semakin menurun akibat merosotnya pendapatan negara.

               Konflik elite tidak dapat dihindarkan karena kebijakan deregulasi tidak didasarkan pada pertimbangan rasional, efisiensi, dan keadilan, melainkan hubungan bisnis atau kolusi antara pejabat dan pengusaha. Selain itu, di sektor sosial dimana pemerintah dituntut optimalisasi pelayanan, justru semakin berkurang kemampuannya akibat menurunnya pendapatan negara. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya krisis sosial di lapisan bawah. Kelompok bawah yang sebelumnya mengandalkan proyek-proyek padat karya dari negara, seperti pembangunan infrastruktur jalan, bangunan milik negara dan sarana irigasi, banyak yang kehilangan pekerjaan. Deregulasi yang berlangsung setengah hati dan tidak menyentuh sektor riil yang merupakan bidang kolusi antara penjabat dan pengusaha, tidak mendorong kebijakan berjalan efektif dan efisien. Deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan secara terarah dan bertahap, seperti di Korea Selatan, dapat menjauhkan bisnis dari belenggu birokrasi, sehingga pembangunan nasional dapat berlangsung secara cepat.

               Kebijakan deregulasi meskipun dilakukan setengah hati, telah memunculkan jenis kebijakan baru yaitu competitive regulatory police. Perluasan radio swasta, berdirinya beberapa stasiun TV swasta, pelayanan telekomunikasi oleh swasta, perubahan status pendidikan tinggi dari terdaftar- diakui-disamakan ke terakdreditasi, adalah beberapa contoh. Serentak dengan itu juga mulai muncul kebijakan redistributive, seperti perpajakan. Pajak yang mulai serius diterapkan sejak Gagasan  negara kuat muncul dari filsuf terkemuka, tetapi yang paling jelas adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679) dan F.W. Hegel (1770 – 1831). Menurut Hobbes, dalam masyarakat tanpa negara yang berlaku adalah iusnaturalis atau hukum alam, dimana tiap orang mempertahankan dirinya untuk hidup kalau perlu menyerang yang lain. Dalam keadaan seperti ini, setiap individu selalu merasa tidak aman, ketakuan dan mencurigai orang-orang disekitarnya karena pada dasarnya manusia adalah serigala bagi orang lain. Untuk melindungi hak setiap orang, membangun perdamaian dan membatasi kemerdekaan ilmiah setiap orang diperlukan lex naturalis atau undang-undang. Selanjutnya Hobbes menyatakan, perlu diangkat seorang raja dengan kekuasan mutlak. Raja dengan kekuasan mutklak adalah negara, individu harus rela menyerahkan haknya supaya kepentingan, keamanan dan perdamaian jangka panjang dapat tercapai. Negara dengan kekuasan besar seperti ini disebut oleh Hobbes adalah Leviathan.

Sedangkan bagi Hegel, sejarah umat manusia merupakn proses dari sebuah ide yang universal yang sedang mengaktualisasikan dirinya. Ide tersebut terus berproses melalui apa yang dinamakan sejarah, sebab menurut Hegel, sejarah manusia adalah sejarah perkembangan ide. Negara merupakan penjelmaan dari ide yang universal, karena negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar. Hegel berpendapat bahwa negara mempunyai hak untuk memaksa kehendaknya kepada warganya karena negara mewakili kepentingan umum, negara merupakan manifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Di sinilah negara berada diatas masyarakat, negara perlu hadir dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan untuk melakukan hal tersebut diperlukan negara kuat.

Teori Hobbes dan Hegel ini jelas mengabaikan perbedaan antara negara, pemerintah, aparat birokrasi dan kebijakan. Negara dipandang sebagai kekuatan sempurna yang utuh dan mempunyai misi suci meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam masyarakat modern, teori negara kuat diteruskan ke dalam teori negara organis. Dalam negara organis, negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemauan sendiri yang mandiri. Negara memiliki kepentingan sendiri, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Karena misi negara adalah misi yang suci untuk kepentingan umum dan kebaikan bersama, maka negara juga secara aktif menyingkirkan orang atau kelompok yang dianggap menggangu rencana tersebut. Inilah yang dapat disimak dari tindakan Negara Orde Baru. Orde Baru menggunakan birokrasi baik sipil maupun militer untuk secara aktif melakukan perencanaan, pelaksanaan pembangunan termasuk kontrol terhadap masyarakat sipil, maka format demikian populer dikenal sebagai  Negara Otoriter Birokratik. O’ Donnell salah satu seorang penganut teori ini menyatakan bahwa negara tampil sebagai salah satu kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi elite pendukungnya, serta masyarakat sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang mampu mengatasi keduanya. Ini disebabkan oleh negara otoriter birokratik diciptakan untuk melakukan kontrol yang kuat terhadap masyarakat sipil terutama dalam mencegah massa rakyat terlibat secara aktif dalam politik. Di Indonesia implementasinya terbagi oleh militer menjalankan penciptaan stabilitas keamanan, sedangkan teknokat melakukan perencanaan ekonomi dan birokrasi menjalankan perencanaan tersebut.

Bagaimana pemerintah atau negara yang kuat melakukan pelayanan publik? Oleh karena itu kekuatan pemerintah dan negara disusun bersamaan dengan kepasifan massa, kemandulan partai dan kontrol ketat penguasa, maka pemerintah merupakan kekuatan tunggal dalam negara. Pengusaha dan civil society masih sangat lemah, sehingga tidak mampu mengibangi pemerintah. Dalam kondisi ini, pelayanan publik merupakan monopoli pemerintah.

Selain itu terdapat bidang-bidang yang terabaikan dan sebaliknya terlalu jauh diurus oleh pemerintah. Bidang yang terabaikan oleh pemerintah adalah bidang yang tidak memberikan keuntungan finisial dan politis, sebaliknya, bidang yang terlalu jauh dicampuri oleh pemerintah adalah bidang yang memberikan manfaat ekonomi maupun politik bagi aparatur negara, terutama para pejabat tinggi negara. Menurut Rippley, kebijakan protektif hanya perlu diberikan kepada kelompok minoritas dan kelompok rentan secara sosial, ekonomi dan budaya. Hal demikian dimaksudkan untuk melindungi mereka dari persaingan pasar yang tidak adil, akan tetapi, di era negara kuat kebijakan demikian justru diberikan kepada pelaku ekonomi kuat, seperti pemberian proteksi bagi usaha kimia, pupuk, terigu, farmasi, elektronika, informasi dan komunikasi, transportasi dan semen.

D.     PARADIGMA REFORMASI PELAYANAN PUBLIK

Deregulasi dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai aturan yang menghambat peran serta masyarakat dalam memproduksi barang atau jasa. Disini terjadi perubahan peranan pemerintah dari intervensionistik ke mekanisme pasar. Pemerintah melepaskan sepenuhnya bidang-bidang yang semula ditangani ke swasta baik dengan pertimbangan skala usahanya terlalu kecil sehingga tidak efisien, jenis pelayanan yang dilakukan  terlalu sederhana dan dapat dengan mudah dilakukan oleh swasta serta jenis barang atau jasa yang diproduksi kurang memiliki nilai strategis dari sudut ekonomi dan politik.

Secara teoritis, reformasi adalah perubahan dimana kedalamannya terbatas sedangkan keluasan perubahannya melibatkan seluruh masyarakat. Konsep terakhir menunjukan kedalaman perubahannya radikal sedangkan keluasan perubahannya melibatkan pula seluruh masyarakat. Sebagai perubahan yang terbatas tetapi keseluruhan masyarakat terlibat, reformasi juga mengandung pengertian penataan kembali bangunan masyarakat, termasuk cita-cita. Kata orde jelas menunjukan pergantian rezime, pandangan politik, dan kebijakannya .

Melalui berbagai kebijakan tersebut, proses perumusan kebijakan dan implementasinya bukan lagi merupakan monopoli negara. Telah berlangsung perluasan pelaku kebijakan, utamanya disektor ekonomi. Dalam bidang sosial, negara masih menuntut menyelenggarakan pelayanan yang lebih optimal, bukan hanya sebagai akibat the rising expectation, tetapi juga ketentuan konstitusi. Akan tetapi, kemampuan negara untuk menerapkan pola lama, yaitu proteksi dan subsidi Semakin menurun akibat merosotnya pendapatan negara.

Konflik elite tidak dapat dihindarkan karena kebijakan deregulasi tidak didasarkan pada pertimbangan rasional, efisiensi, dan keadilan, melainkan hubungan bisnis atau kolusi antara pejabat dan pengusaha. Para pejabat tidak menderegulasikan sektor-sektor dimana mereka memiliki modal dan saham. Selain itu, di sektor sosial dimana pemerintah dituntut optimalisasi pelayanan, justru semakin berkurang kemampuannya akibat menurunnya pendapatan negara. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya krisis sosial di lapisan bawah. Kelompok bawah yang sebelumnya mengandalkan proyek-proyek padat karya dari negara, seperti pembangunan infrastruktur jalan, bangunan milik negara dan sarana irigasi, banyak yang kehilangan pekerjaan. Akan tetapi sejarah tidak dapat diputar balik, deregulasi yang berlangsung setengah hati dan tidak menyentuh sektor riil yang merupakan bidang kolusi antara penjabat dan pengusaha, tidak mendorong kebijkan berjalan efektif dan efisien.

Perubahan mendasar sejak tahun 1999 adalah Amandemen UUD 1945, kekuasan legeslatif diselenggarakan oleh dua lembaga perwakilan yaitu DPR dan DPD, kekuasaan yudikatif diselenggarakan oleh dua mahkamah yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, daerah otonom diberikan kewenangan yang sangat luas, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan kebebasan mendirikan partai politik. Reformasi diatas merupakan reformasi politik, terutama distribusi kekuasaan. Perubahan demikian merupakan syarat mutlak perubahan pelayanan publik atau perubahan adminitratif, sebab dalam ilmu adminitrasi dikenal dengan prinsip when politic end, administrative began. Untuk melakukan pelayanan publik, diperlukan perubahan politik, baik mekanisme pengambilan keputusan maupun kelembagaan. Secara gradual, perubahan tersebut mengarah kepada keseimbangan keuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keseimbangan demikian merupakan langkah demokratisasi.

Pemberian otonom yang sangat luas pada dasarnya juga dimaksudkan untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Melalui otonom yang luas, pemerintah daerah memiliki wewenag yang luas dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan rakyat daerah.

Berbagai perubahan dalam bidang pelayanan publik memang telah berlangsung di era reformasi, meskipun tidak sebaik yang diharapkan. Dari jenis kebijakan, semakin banyak kebijakan kompetitif dalam bidang ekonomi, industri, dan perdagangan. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah mengurangi peranannya di bidang ekonomi. Demikian kebijakan distributif dan redistributif, seperti pemberian subsidi untuk pendidikan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beras untuk keluarga miskin (raskin) dan Program Kompesasi Subsidi BBM yang diberikan dalam bentuk uang tunai. Dari prilaku birokrasi , meskipun korupsi dan kolusi belum ada tanda-tanda merosot, tetapi arogansi birokrasi berkurang.

Efisiensi dan efektifvitas pelayanan menunjukan peningkatan. Sistem dan prosedur pelayanan telah diubah lebih sederhana, baik dalam bidang surat menyurat, pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik maupun telepon. Namun masyarakat masih belum terbebaskan dari biaya siluman, terutama untuk mendapatkan surat izin usaha perdagangan, sertifikat tanah dan semua surat yang dikeluarkan oleh kepolisian. Kepolisian merupakan institusi yang paling buruk dalam pelayanan publik di banding institusi lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

       Sampai akhir tahun 2005, masyarakat masih belum bisa memiliki kepastian dalam hal biaya dan waktu dalam memperoleh pelayanan publik, terutama yang diberikan oleh birokrasi pemerintahan dan kepolisian. Kepastian informasi lebih disediakan oleh swasta, bahkan dengan berbagai kemudahan. Gejala terakhir ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya kompetisi antar pelaku implementasi  kebijakan. Mekanisme pasar yang didorong melalui kebijakan kompetitif, lebih berhasil dalam menyediakan pelayanan yang murah, responsif dan inovatif. Sebaliknya mekanisme adminitratif masih mengidap penyakit birokrasi, seperti lambat, berbelit-belit dan kurang berkualitas.

       Agar terdapat kepastian pelayanan publik perlu segera disusun standar pelayanan yang jelas. Standar demikian diperlukan bukan hanya untuk kepastian pelayanan, tetapi juga dapat digunakan untuk menilai kompetensi aparatur dan usaha untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik. Hak-hak masyarakat dalam pelayanan publik perlu di ekspose untuk diketahui oleh masyarakat, demikian juga kewajiban aparatur dalam mkemberikan pelayanan. Mekanisme penyampaian komplain, keluhan dan berbagai ketidakpuasan kepada lembaga terkait perlu dipermudah, untuk meningkatkan kontrol masyarakat.

B.     Saran

       Menurut kami masih banyak hal – hal di indonesia yang perlu di perbaiki demi menyambut era globalisasi. Bidang – bidang dasar seperti politik ekonomi, sosial dan budaya, serta hukum harus banyak mengalami perubahan mengarah kepada yang lebih baik.

 

 

  

 

 

DaftarPustaka

http://adimangkusumo.blogspot.co.id/2016/09/paradigma-perubahan-pelayanan

publik.html?m=1

http://muslimpoliticians.blogspot.co.id/2013/04/hakekat-dan-paradigma-pelayanan publik.html?m=1

http://sahabatnazar.blogspot.co.id/search?q=makalah+perubahan+paradigma+pelayanan+publik


No comments:

Post a Comment