Thursday, December 5, 2019

Makalah Komunikasi Dan Advokasi Kebijakan

ANALISIS PENERAPAN KENAIKAN BPJS KESEHATAN YANG MENIMBULKAN POLEMIK DI TENGAH MASYARAKAT


OLEH :
      NAMA    :   NURMAYANTI
                                                NIM         :  105611119417
                                                            KELAS    :  5E


JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019

KATA PENGANTAR
          Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil laporan penelitian yang berjudul “ Analisis Penerapan Kenaikan Bpjs Kesehatan Yang Menimbulkan Polemik Di Tengah Masyarakat “. Pada hasil laporan ini penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak.
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.


                                                                                               Makassar, 20 November 2019
                                                                  Penyusun,

                                                                                                                Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………................…………........………........ i
DAFTAR ISI ……………………………...................………….…………........….. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar  Belakang …………………………………........………………….....……. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Pengertian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ................... 2
2.2  Peran Pemerintah dalam Pelaksanaan Kesehatan .................................................. 3
BAB III METODOLOGI
3.1  Tujuan Penulisan ................................................................................................... 6
3.2  Manfaat Penulisan ................................................................................................. 6
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pembentukan Sistem Regulasi Yang Mendorong Perbaikan BPJS Kesehatan ..... 7
4.2 Alasan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan ............................................................. 10
4.3 Pelayanan Kesehatan Peserta BPJS ..................................................................... 15
4.4 Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan ...................................................... 19
BAB III PENUTUP
5.1 Kesimpulan …………………………………...................................................... 20
5.2 Saran ……………………………..................................................................….. 20
DAFTAR PUSTAKA ………………………....................…….......................…… 21
  
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.  Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta  kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi dari Pemerintah.
Pada tahun 2014 ini, tepatnya tanggal 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan telah beroperasi. BPJS Kesehatan merupakan program pemerintah Indonesia dalam rangka memberikan pelayanan dan jaminan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Mulai 1 Januari 2014, pemerintah memberikan pelayanan kepada 140 juta peserta, antara lain untuk 86,4 juta jiwa kepesertaan Jamkesmas, 11 juta jiwa untuk Jamkesda, 16 juta peserta Askes, 7 juta peserta Jamsostek, dan 1,2 juta peserta unsur TNI dan Polri. Hingga sekarang, BPJS Kesehatan sendiri sudah beroperasi hampir tiga bulan lamanya. Implementasi BPJS Kesehatan ini masih memiliki banyak kendala yang ditemukan di lapangan.Tentunya masalah pelayanan kesehtan harus terus ditingkatkan, dan hal ini perlu komitmen BPJS kesehatan untuk memperbaiki diri. Bila regulasi dan komitmen pelayanan tidak ditingkatkan maka BPJS Kesehatan akan terus menuai kritik dan akhirnya semangat baik yang ada di UU SJSN (UU 40/2004) dan UU BPJS (UU 24/2011) akan menjadi lenyap dan meninggalkan sejarah kegagalan.

Baca Juga :


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.Tujuan diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Manfaat jaminan kesehatan yang bisa diperoleh dari sistem ini adalah bersifat pelayanan perseorangan yang mencakup dari pada pelayanan preventif, kuratif dan rehabilitative. Termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Dimana bagi para peserta akan memperoleh pelayanan kesehatan dengan mengikuti prosedur pelayanan.
Jaminan sosial adalah perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota anggotanya untuk resiko-resiko atau peristiwa-peristiwa tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat  mengakibatkan hilangnya atau turunya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan/atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi  ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan  keluarga dan anak. Secara singkat jaminan sosial diartikan sebagai bentuk  perlindungan sosial yang menjamin seluruh rakyat agar dapat mendapatkan  kebutuhan dasar yang layak.
Di dalam program BPJS jaminan sosial dibagi kedalam 5 jenis program jaminan  sosial dan penyelenggaraan yang dibuat dalam 2 program penyelengaraan, yaitu :
1.   Program yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, dengan programnya  adalah Jaminan Kesehatan yang berlaku mulai 1 Januari 2014.
2.   Program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, dengan programnya adalah Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan  Pensiun, dan Jaminan Kematian yang direncanakan dapat dimulai mulai 1 Juli 2015.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah peleburan 4 (empat) badan usaha milik negara menjadi satu badan hukum, 4 (empat) badan usaha yang dimaksud adalah PT TASPEN, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, dan PT ASKES. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini berbentuk seperti asuransi, nantinya semua warga indonesia diwajibkan untuk mengikuti program ini. Dalam mengikuti program ini peserta BPJS di bagi menjadi 2 kelompok, yaitu untuk mayarakat yang mampu dan kelompok masyarakat yang kurang mampu.
Peserta kelompok BPJS di bagi 2 kelompok yaitu:
a.    PBI (yang selanjutnya disebut Penerima Bantuan Iuran) jaminan kesehatan, yaitu PBI  adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan Undang-undang SJSN yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah
b.   Bukan PBI jaminan kesehatan.
2.2  Peran Pemerintah dalam Pelaksanaan Kesehatan
Pemerintah berperan aktif dalam pelaksanaan kesehatan masyarakat tertulis dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 beserta penjelasannya, bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu:
1.   Mengatur upaya penyelenggaraan serta sumber daya kesehatan.
2.   Membina penyelenggaraan serta sumber daya kesehatan.
3.   Mengawasi penyelenggaraan serta sumber daya kesehatan.
4.   Menggunakan peran serta masyarakat dalam upaya penyelenggaraan serta sumber daya kesehatan.
Dalam penyelenggaraan kesehatan di masyarakat, diperlukan upaya peningkatan pembangunan di bidang kesehatan. Dalam hal ini pemerintah mempunyai fungsi dan tanggung jawab agar tujuan pemerintah di bidang kesehatan dapat mencapai hasil yang optimal melalui penempatan tenaga, sarana, dan prasarana baik dalam hitungan jumlah (kuantitas) maupun mutu (kualitas).
Dalam melaksanakan undang-undang tersebut pemerintah membutuhkan satu kebebasan untuk melayani kepentingan masyarakat. Untuk dapat bekerja dengan baik maka pemerintah harus dapat bertindak dengan cepat dan dengan inisiatif sendiri, oleh karena itu pemerintah diberikan kewenangan dengan istilah freies ermessen. Dengan adanya freies ermessen negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan tindakan hukum untuk melayani kepentingan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Peran pemerintah daerah dalam program SJSN sangat diperlukan guna berjalannya program tersebut dengan baik, peran pemerintah tersebut antara lain:
1.   Pengawasan program SJSN, agar sesuai dengan ketentuan.
2.   Menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk penerima bantuan iuran ataupun masyarakat yang lain.
3.   Penentu peserta penerima bantuan iuran
4.   Penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang.
5.   Mengusulkan pemanfaatan/investasi dana SJSN di daerah terkait.
6.   Sarana/usul kebijakan penyelenggara SJSN.
Selain 6 (enam) peran diatas, pemerintah daerah juga memiliki peran penting untuk mendukung program BPJS, yakni:
1.   Mendukung proses kepersertaan dalam rangka menuju cakupan semesta 2019 melalui integrasi Jamkesda melalui (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) APBD dengan mengikuti skema JKN.
2.   Mendorong kepesertaan pekerja penerima upah yang ada di wilayahnya (PNS, Pemda, Pekerja BUMD dan Swasta) dan mendorong kepersertaan pekerja bukan penerima upah (kelompok masyarakat/individu).
3.   Mendorong penyiapan fasilitas kesehatan milik pemerintah dan swasta serta mendukung ketersedianya tenaga kesehatan terutama dokter umum di puskesmas dan spesialis di rumah sakit.
4.   Mengefektifkan pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemda.


BAB III
METODOLOGI
3.1  Tujuan Penulisan
1.   Untuk mengetahui pembentukan sistem regulasi yang mendorong perbaikan BPJS kesehatan
2.   Untuk mengetahui alasan kenaikan iuran BPJS kesehatan
3.   Untuk mengetahui Pelayanan BPJS Kesehatan
4.   Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan

3.2  Manfaat Penulisan
-       Secara Akademik
Kegunaan akademik sebagai referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan serta sebagai acuan di tugas - tugas selanjutnya.
-       Bagi Masyarakat
Manfaat bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi baru dan dapat menambah pengetahuan masyarakat agar dapat lebih mengetahui berbagai hal tentang BPJS.
-       Bagi Penulis
Kegunaan bagi penulis, dapat menambah dan memperluas wawasan dan pengetahuan penulis terkait masalah BPJS.

 BAB IV
                                                                 PEMBAHASAN            
4.1 Pembentukan Sistem Regulasi Yang Mendorong Perbaikan BPJS Kesehatan
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan telah resmi diteken Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpers No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada 24 Oktober lalu. Pada Pasal 34 Perpres tersebut disebutkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100%. Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, Kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tentu menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Respons masyarakat rata-rata keberatan dengan kenaikan yang akan dimulai pada 1 Januari 2020 mendatang ini. Publik menyandingkan kualitas pelayanan yang dinilai masih banyak masalah dengan rencana kenaikan iuran hingga 100 persen tersebut.
Pilihan menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini memang pilihan sulit yang ditempuh pemerintah. Meski sejumlah hal sebenarnya dapat ditempuh oleh pengelola BPJS Kesehatan serta pemerintah sebelum mengambil keputusan menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan. Bila pun iuran naik, jumlahnya dapat ditekan agar tak tembus hingga 100 persen besaran kenaikannya. Sejumlah hal yang bisa dilakukan tak lain melakukan koreksi total di internal pengelolaan BPJS Kesehatan. Temuan BPK yang mengkonfirmasi tentang potensi kecurangan (fraud) yang dilakukan pihak rumah sakit semestinya menjadi catatan serius pihak BPJS Kesehatan. Apalagi, KPK dan Kementerian Kesehatan telah membentuk Satuan Tugas Anti-Fraud.
Untuk mengatasi masalah tersebut, semestinya BPJS Kesehatan meninjau paket Indonesia Case Base Groups (INA CBGs) dan kapitasi yang berbasis kinerja. Tidak sekadar itu, Kementerian Kesehatan juga dapat membuat Standard Operasional Procedure (SOP) yang memuat penerimaan hingga pemulangan pasien (clinical pathway). Dalam catatan kami, masalah tersebut masih sedikit dicantumkan dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
Langkah perbaikan lainnya, para stakeholder agar segera merealisasikan pembentukan sistem yang kukuh sebagaimana hasil kesepakatan pemahaman (memorandum of understanding) antara KPK, Kemenkes, dan BPJS Kesehatan. Rencana penerbitan tiga regulasi yakni pedoman pencegahan fraud, deteksi dini fraud, serta penanganan fraud semestinya dapat segera direalisasikan. Namun sayangnya hingga Perpres No 75 tahun 2019 terbit, regulasi yang mendorong perbaikan di internal BPJS itu tak kunjung terbit. Cara lainnya yang semestinya juga dilakukan pemerintah dan stakeholder sebelum memutuskan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan melakukan sejumlah langkah nyata. Setidaknya, berbagai upaya tersebut dimaksudkan untuk menekan besaran kenaikan yang memang dirasa memberatkan masyarakat. Ikhtiar yang dapat ditempuh di antaranya pemerintah pusat melakukan kolaborasi dengan program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang dimiliki pemerintah daerah agar kenaikan itu dapat dicegah atau setidaknya besaran kenaikannya tidak mencapai 100 persen sebagaimana tercantum dalam Perpres 75 Tahun 2019.
Sayangnya, pola kolaborasi tersebut tak bisa ditempuh. Karena pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri melalui Permendagri No 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2020 menerapkan program Universal Health Coverage (UHC), yakni pengintegrasian program jaminan kesehatan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, Pemda tak lagi diperkenankan mengelola jaminan kesehatan yang memiliki manfaat yang sama dengan jaminan kesehatan tingkat nasional. Ikhtiar lainnya yang juga dapat ditempuh pemerintah dengan meningkatkan kepesertaan BPJS Kesehatan dengan melakukan penyisiran terhadap perusahaan-perusahaan atau pemberi kerja yang belum memberi fasilitas BPJS Kesehatan kepada karyawannya. Langkah ini diyakini akan meningkatkan kepesertaan masyarakat dan tentunya memberi dampak pendisiplinan dalam pembayaran iuran. Narasi Represif
 Di tengah rencana dan realisasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, para pemangku kepentingan (stakeholder) di sektor jaminan kesehatan nasional ini justru menyuguhkan narasi yang kontraproduktif bagi publik. Seperti membandingkan membeli pulsa telepon seluler dengan ketaatan pembayaran iuran, serta membandingkan membeli rokok dengan kepatuhan dalam membayar iuran BPJS Kesehatan.
Narasi itu mudah untuk dipahami, yakni bertujuan bahwa sejatinya masyarakat mampu membayar iuran BPJS Kesehatan sekalipun naik hingga 100 persen. Karena dalam kenyataannya, masyarakat yang mengeluh kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu mampu membeli rokok dan pulsa telepon pintarnya. Di samping itu pemerintah juga mulai menyiapkan rencana penerbitan Intruksi Presiden (Inpres) agar pembayaran iuran BPJS Kesehatan berjalan tertib dengan membuat langkah-langkah "represif". Seperti pelunasan pembayaran iuran BPJS Kesehatan sebagai syarat untuk perpanjangan surat izin mengemudi (SIM) atau paspor. Lagi-lagi, tujuannya agar masyarakat taat dan patuh dalam membayar iuran BPJS Kesehatan. Narasi represif ini berjalin kelindan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen itu. Situasi ini pula yang menjadi rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan masuk dalam wacana publik yang banyak ditentang oleh publik. Bahkan, di Surabaya seorang warga mengajukan permohonan uji materi terhadap Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang sebagai payung hukum kenaikan besaran iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen.
Di sisi lain, rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sama sekali tidak disertakan blue print tentang perbaikan kualitas layanan BPJS Kesehatan oleh pihak BPJS Kesehatan dan pemerintah. Alih-alih mendapat kepastian perbaikan layanan seiring kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2020 mendatang, masyarakat justru mendapat ancaman represi bila tidak patuh dalam pembayaran iuran BPJS Kesehatan. Di poin ini pula, dalam hemat saya, BPJS Kesehatan gagal dalam mengelola wacana publik terkait dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah lebih mengedepankan wacana represif daripada jaminan perbaikan dalam pelayanan BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan semestinya dirasionalisasikan dalam bentuk jaminan perbaikan fasilitas BPJS Kesehatan yang selama ini menjadi persoalan akut di masyarakat. Sederhananya, BPJS Kesehatan dan pemerintah semestinya dapat memastikan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tak ada lagi praktik penolakan pasien dari rumah sakit dengan alasan kamar penuh. Masyarakat juga harus mendapat jaminan, dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tak lagi menjumpai ketiadaan obat saat berobat di rumah sakit dengan fasilitas BPJS Kesehatan.
Belum lagi kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tidak diiringi dengan upaya konkret BPJS Kesehatan untuk menjawab kritik publik mengenai besaran gaji yang diterima direksi BPJS Kesehatan. Pada akhirnya, sengkarut BPJS Kesehatan ini tak semata-mata soal iuran BPJS Kesehatan, namun soal kepekaan para pemangku kebijakan dalam membangun narasi di depan publik. Ketiadaan sensitivitas pada akhirnya menjadikan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tak mendapat respons positif dari publik.
4.2 Alasan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Defisit jadi alasan kenaikan iuran BPJS kesehatan tak mungkin muncul asap kalau tidak adanya api, sama halnya dengan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini yang pastinya ada alasan yang kuat. Sri Mulyani bermaksud dengan iuran BPJS yang dinaikkan ini bisa menutupi defisit keuangan BPJS yang terus terjadi setiap tahunnya. Pada 2014 Rp1,9 triliun, kemudian naik pada 2015 jadi Rp9,4 triliun. Pada 2016 mengalami penurunan menajdi Rp6,4 triliun. Sayangnya harus kemabali naik lagi di tahun 2017 menjadi Rp13,8 triliun. Naik lagi pada 2018 mencapai Rp19,4 triliun dan tahun ini berpotensi naik tajam menjadi Rp32,8 triliun.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah selesai melakukan audit sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pihaknya mengungkapkan ada beberapa penyebabnya dari permasalah terjadinya deficit pada BPJS Kesehatan, di antaranya:

1.   Rumah Sakit Bersikap Curang

Setiap rumah sakit yang termasuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Pertama (FKRTL) BPJS Kesehatan sudah mendapatkan kategori rumah sakit yang telah ditentukan sejak awal, yaitu A, B, C, dan D. Dari keempat kategori tersebut punya biaya per unit pasien yang tak sama. Intinya, kategori A tertinggi dan kategori D terendah. Belum lama ini BPKP menemukan tak sedikit rumah sakit rujukan BPJS Kesehatan yang melakukan kecurangan dalam data kategori tersebut demi mendapatkan per unit pasien lebih besar dari penggantian BPJS Kesehatan. Misal, yang awalnya termasuk kategori B tapi saat pelaporan jadi A.

2.   Perusahaan Juga Melakukan Kecurangan

Selain rumah sakit, nyatanya banyak perusahan juga yang melakukan tindakan kecurangan. Aturan sebenarnya, setiap perusahaan harus membayarkan iuran BPJS Kesehatan setiap karyawannya sebesar 4% dari 5% dari gaji pokok karyawan. Hal ini tentu membuat iuran BPJS Kesehatan yang ditanggung perusahaan akan besar. Maka dari itu, agar iuran yang dibayarkan tetap kecil, perusahaan melakukan kecurangan saat membuat laporan ke BPJS Kesehatan. Banyak ragam kecurangan tersebut, antara lain ada yang melaporkan jumlah karyawan yang lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya dan ada pula perusahaan yang membuat laporan mengecilkan gaji karyawan.

3.   Pelayanan Tak Sebanding dengan Peserta

Pada umumnya perusahaa jasa akan melengkapi pelayanan yang layak untuk menunjang sejumlah konsumen. Jadi, hal yang dilakukan perusahaan akan mengetahui total keseluruhan konsumen terlebih dahulu, kemudian barulah perusahaan tersebut mempertimbangkan berapa banyak pelayanan lagi yang harus ditambah. Nah, ini berbanding terbalik dengan BPJS Kesehatan. Pihak BPJS memiliki palayanan yang banyak padahal total peserta hanya sedikit. Pada data terlihat jumlah peserta 223,3 juta orang, sedangkan pelayanannya sejumlah 233, 9 juta.

4.   Data Tidak Sesuai

BPKP menemukan adanya data yang tidak sesuai karena orang yang melakukan perpindahan sistem Akses, Jamkesda dan Jamkesmas ke BPJS Kesehatan yang tidak tervalidasi dan terintergritas dengan baik. Jadi, ada nama peserta yang ganda atau yang seharusnya tidak masuk sistem tapi justru malah masuk.

5.   Sistem Klaim yang Tak Benar

Meningkatnya defisit BPJS Kesehatan juga terjadi karena sistem klaim yang buruk mulai dari ada yang klaim peserta ganda, klaim dari peserta yang sudah meninggal, hingga peserta yang tidak aktif tapi klaimnya masih bisa dicairkan. Jika sistem ini tidak segera diperbaiki maka, bukan hal yang tak mungkin bila BPJS Kesehatan akan mengalami lonjakan defisit secara terus menerus.

6.   Banyak Peserta yang Menunggak

BPKP juga mengungkapkan hingga saat ini banyak peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iurannya yang saat ini berjumlah 15 juta peserta. Kebnyakan dari mereka adalah peserta mandiri yang menderita penyakit berbiaya yang cukup besar. Setelah memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan dalam pengobatannya, mereka tak melanjutkan bayar iurannya per bulannya lagi.

Ø Sasaran dan Rincian Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Untuk menutupi defisit tersebut, menaikan iuran BPJS Kesehatan menjadi upaya utama yang diusulkan Sri Mulyani. Kenaikan ini dipukul rata alias semua peserta BPJS Kesehatan menjadi sasarannya dengan kenaikan iuran yang mencapai 100%. Berikut rincian iuran terbaru yang akan diterapkan jika sudah disahkan perpres:
·      Kelas 1 dari Rp80.000/bulan menjadi Rp160.000/bulan
·      Kelas 2 dari Rp59.000/bulan menjadi Rp110.0000/bulan
·      Kelas 3 dari Rp25.000/bulan menjadi Rp42.000/bulan
Pada judul kenaikan bpjs ada beberapa hasil wawancara dari berbagai latar belakang yang berbeda :
1.   Ada dari perwakilan pihak mahasiswa yaitu Nur wana, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di makassar menilai bahwa kenaikan iuran tersebut berpotensi menekan kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran. Hal tersebut menurutnya perlu menjadi perhatian besar dari pemerintah, agar tidak mengundang protes masyarakat.  "Dengan biaya yang sebelumnya saja banyak masyarakat yang menunggak [iuran], apalagi jika dinaikkan," ujar Wina.
2.   Pihak politisi yaitu Jusuf Kalla yang merupakan wakil Presiden menkritik pihak-pihak yang menganggap berat kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Ia menyindir mereka yang tetap mampu membeli pulsa dan rokok dengan jumlah yang lebih besar, tapi merasa berat membayar iuran kesehatan. “Siapa yang khawatir? Hanya ngomong saja, padahal beli pulsa tiga kali lipat dari pada itu, beli rokoknya lebih dari itu,” kata JK di Istana Kepresidenan, Selasa (8/10/2019). Selain itu, Kalla juga menilai kenaikan iuran ini tidak akan membebani masyarakat miskin, karena biaya kesehatan mereka akan ditanggung oleh negara.
Artikel ini telah tayang di 
Kompas.com 
3.   Dari pengamat Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar Kenaikan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai bukan sebuah solusi. Pendapat ini disampaikan Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar. Menurut Munaswar, kebijakan ini justru menambah beban bagi masyarakat khususnya yang tingkat ekonominya rendah. "Ini bukan solusi, ini justru akan membebankan masyarakat yang kebetulan secara ekonomis sesungguhnya dia tidak mampu. Cuma dia tidak tercatat di penerima bantuan iuran (PBI) nasional, tidak tercatat di PBI daerah. Yang kelas dua juga begitu yang mandiri, ini kan banyak ke yang mandiri bebannya," ujar Indra dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk BPJS Kesehatan Kezzeel, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11/2019). Maka dari itu, Indra meminta pemerintah dan pihak penyelenggara untuk mengkaji ulang kenaikan iuran JKN itu. Karena menurutnya perlu pengkajian ulang terkait hak konstitusi rakyat akan jaminan sosial ini.
4.   Dari perwakilan masyarakat Kanti Martiana, ibu rumah tangga asal gowa, menyampaikan bahwa dirinya setuju akan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dia berpendapat, peningkatan pemasukan iuran terhadap BPJS Kesehatan akan memperlancar pembayaran klaim dan meningkatkan kondisi keuangan rumah sakit. Menurutnya, kondisi keuangan yang baik akan mengurangi beban para pekerja rumah sakit sehingga mereka dapat fokus melayani pasien. Hal tersebut kemudian akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit. "Yang penting pelayanannya meningkat, apalagi di rumah sakit rujukan, mudah-mudahan kenaikan iuran akan membuat pelayanan semakin baik, proses administrasi semakin cepat," ujar Kanti, Rabu (17/11/2019).
5.   Pihak birokrasi Suryanti mengatakan cukup keberatan menurutnya, jika memang kenaikan ini diberlakukan maka pelayanan harus dapat ditingkatkan agar sebanding dengan kenaikan yang dirasa cukup tinggi. "Pelayanannya saat ini sudah baik mudah untuk mengakses, namun semua-semua naik, listrik sembako naik sekarang BPJS mau naik juga masa semua naik," tuturnya.
6.   Dan dari Dosen Hukum Kesehatan Universitas Atmajaya Erfen Gustiawan Suwanto mengatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan itupun dikeluhkan para praktisi bidang kesehatan, terutama manajemen rumah sakit dan klinik swasta. Bahkan, sejalan dengan defisit tersebut, pada tahun ini tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit di seluruh Indonesia, makin menumpuk. "Alhasil, klinik-klinik swasta mengalami kesulitan operasional. Sebaliknya, pihak pemerintah juga DPR mempunyai argumentasi berbeda terkait defisit anggaran BPJS Kesehatan," ujarnya, Minggu (29/9/2019).
4.3 Pelayanan Kesehatan Peserta BPJS
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:
1.   Administrasi pelayanan
2.   Pelayanan promotif dan preventif
3.   Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis
4.   Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
5.   Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6.   Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
7.   Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama
8.   Rawat Inap Tingkat Pertama sesuai dengan indikasi medis.
2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan
Meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap, yang mencakup:
1.   Administrasi pelayanan
2.   Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis
3.   Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis
4.   Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
5.   Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis
6.   Rehabilitasi medis
7.   Pelayanan darah
8.   Pelayanan kedokteran forensik klinik
9.   Pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal setelah dirawat inap di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan bpjs kesehatan, berupa pemulasaran jenazah tidak termasuk peti mati dan mobil jenazah
10.  Perawatan inap non intensif dan
11.  Perawatan inap di ruang intensif.
3. Ambulan.
Ambulan hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan satu ke fasilitas kesehatan lainnya, dengan tujuan menyelamatkan nyawa pasien.
4. Pelayanan Persalinan Dan Penjaminan Bayi Baru Lahir
1.   Pelayanan Persalinan
a)   Persalinan merupakan benefit bagi peserta BPJS Kesehatan tanpa pembatasan jumlah kehamilan/persalinan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan tidak dibatasi oleh status kepesertaan (peserta/ anak/tertanggung lain).
b)   Penjaminan persalinan mengikuti sistem rujukan berjenjang yang berlaku
c)   Pelayanan persalinan ditagihkan oleh fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan. Klaim perorangan untuk kasus persalinan baik yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama maupun yang tidak bekerja sama tidak diperbolehkan.
2.   Kepesertaan Bayi Baru Lahir
a)  Bayi peserta PBI Bayi baru lahir dari Peserta PBI secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi tersebut dicatat dan dilaporkan kepada BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan untuk kepentingan rekonsiliasi data PBI.
b)  Bayi peserta jamkesmas non Kuota
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: JP/Menkes/590/XI/2013 tentang Jaminan Kesehatan Masyarakat tanggal 28 November 2013 point E nomor 2 bahwa: “Bila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu di luar peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang berjumlah 86,4 juta jiwa maka menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Penyusunan APBD Tahun 2014)”,maka: Bayi yang lahir dari peserta Jamkesmas non kuota menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, Peserta non kuota Jamkesmas, terhitung mulai tanggal 1 Januari 2014 tidak dilayani dalam penyelenggaraan program BPJS Kesehatan, kecuali didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan.
c)   Peserta BPJS Kesehatan PekerjaUpah anak ke-1 sd ke-3 Bayi, anak ke-1 (satu) sampai dengan anak ke-3 (tiga) dari peserta Pekerja Penerima Upah secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan.
d)  Bayi baru lahir dari: Peserta pekerja bukan penerima upah; peserta bukan pekerja; dan anak ke-4 (empat) atau lebih dari peserta penerima upah. Dijamin oleh BPJS Kesehatan jika pengurusan kepesertaan dan penerbitan SEP dilakukan dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak kelahirannya atau sebelum pulang apabila bayi dirawat kurang dari 7 (tujuh) hari. Dalam pengurusan kepesertaan bayi dilakukan pada hari ke-8 atau seterusnya, maka biaya pelayanan kesehatan tersebut tidak dijamin BPJS Kesehatan.
5. Pelayanan Gawat Darurat
1.   Fasilitas Kesehatan: Fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan baik yang bekerjasama maupun tidak bekerjasama dengan BPJS kesehatan.
2.   Cakupan Pelayanan
a)   Pelayanan gawat darurat yang dapat dijamin adalah sesuai dengan kriteria gawat darurat yang berlaku.
b)   Kriteria gawat darurat terlampir.
c)   Cakupan pelayanan gawat darurat sesuai dengan pelayanan rawat jalan dan rawat inap di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan.
3.   Prosedur Pelayanan
a)   Dalam keadaan gawat darurat, maka:
1.   Peserta dapat dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
2.   Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan.
3.   Peserta yang mendapat pelayanan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.
4.   Pengecekan validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam kriteria gawat darurat menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan.
5.   Fasilitas kesehatan tidak diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta Pada kasus kegawat daruratan medis tidak diperlukan surat rujukan.
b)   Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
1.   Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, wajib memberikan pelayanan kegawatdaruratan sesuai indikasi medis.
2.   Pelayanan kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat diberikan pada fasilitas kesehatan tempat peserta terdaftar maupun bukan tempat peserta terdaftar.
3.   Pelayanan kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun lanjutan mengikuti prosedur pelayanan yang berlaku.
c)   Prosedur pelayanan gawat darurat di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan yang tidak bekerjasama dengan BPJS kesehatan.
1.   Fasilitas kesehatan memastikan eligibilitas peserta dengan mencocokkan data peserta dengan master file kepesertaan BPJS Kesehatan pada kondisi real time. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: Fasilitas kesehatan mengakses master file kepesertaan melalui website BPJS Kesehatan www.bpjs-kesehatan.go.id, sms gateway dan media elektronik lainnya.
2.   Penanganan kondisi kegawatdaruratan difasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama ditanggung sebagai pelayanan rawat jalan kecuali kondisi tertentu yang mengharuskan pasien dirawat inap.
4.4 Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan
a. Hak Peserta
1.   Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
2.   Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.   Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
4.   Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke Kantor  BPJS Kesehatan.
b. Kewajiban Peserta
1.   Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2.   Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan tingkat.
3.   Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
4.   Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.
  
BAB V
KESIMPULAN
a.   Kesimpulan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pelayanan BPJS Kesehatan meliputi:
a)   Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
b)   Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan
c)   Ambulan.
d)  Pelayanan Persalinan Dan Penjaminan Bayi Baru Lahir
e)   Pelayanan Gawat Darurat

b.   Saran
Program BPJS Kesehatan dinilai sangat penting dan banyak manfaatnya karena kelebihannya yaitu sistem gotong royong. Untuk itu sangat dianjurkan untuk mengikutinya.

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Politik Muda, Dampak Kenaikan Tarif Bpjs Kesehatan Terhadap Pelayanan Kesehatan Di Kota Malang Vol.6, No.1, Januari – Maret 2017, 34 – 40
Kementerian kesehatan republik indonesia. 2013. Buku pegangan sosialisasiJaminan kesehatan nasional (JKN)Dalam sistem jaminan sosial nasional: Jakarta.
Mukti, Ali Gufron. Rencana Kebijakan Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kemenkes RI : Surabaya.
Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan No.2 November 2017
Tim Visi Yustisia. 2014. Buku Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan. Jakarta
Putri p, novana. 2013. Konsep pelayanan primer di era JKN. Direktorat  bina upaya kesehatan dasarDitjen bina upaya kesehatan Kemenkes RI : Jakarta
Jurnal Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Bpjs Kesehatan Bagi Pekerja Di Universitas Swasta Di Diy, 24 April 2017
Jurnal Analisis Perbedaan Kualitas Pelayanan Pada Pasien Bpjs Dan Pasien Umum, 2 Desember 2016
Murti, B. 2004 Cetakan Kelima. Dasar-dasar Asurasni Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius
Jurnal Ilmiah Sistem Jaminan Sosial Nasional Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan No.2 , 2018


1 comment:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    ReplyDelete